Selasa, 19 Januari 2016

Kurikulum Tuhan


7 kilo masuk ke desa Pian Tengah
Pernahkah diri anda mempertanyakan sesuatu yang jawabannya sulit didefinisikan?
Di kelas training intensif Indonesia Mengajar aku mengenal Bu Weilin Han. Suatu ketika, saya bertanya “Buk, di antara 5 kabupaten penempatan kira yang menurut ibu tantangannya besar?” ia mengatakan kalau jawabannya akan saya temukan sendiri. Soal penempatan pengajar muda memang banyak ekspektasi tak terduga. Teman yang berekspektasi tinggi di suatu wilayah A, bisa jadi ditempatkan di wilayah B. Begitu sebaliknya. 

Kami masih beranggapan semakin jauh tempatnya, maka semakin sangar! Soal ‘jarak’ yang menjadi ekspektasi memang menjadi incaran bagi sebagian orang. Anak muda sekarang bukan dengan sengaja mengincar penderitaan dengan wilayah yang sulit akses, namun, mereka ingin menjajal tantangan baru yang barangkali melebihi ekspektasinya. Aku suka dengan anak-anak muda macam ini. 

Nah, lima hari di Pian Tengah, Bunguran Barat, Natuna, aku menemu jawabannya. Keinginanku untuk melepas apa-apa yang pernah lekat denganku tak dikabulkan juga. Ya, semakin kuat keinginan untuk melupa justru semakin mengada. Tapi, inilah jawabannya. 

Saya pernah berpikir, bagaimana sejatinya manusia dihadirkan di muka bumi ini? Apa Tuhan memberikan porsi katakanlah jika laku dualism (kebaikan dan kejahatan) dihadirkan untuk keseimbangan hidup. Ada orang yang memang berasal dari genetik ‘baik’. Dari laku, sikap, dan tuturnya. Sementara aku membayangkan makhluk lain yakni malaikat. Apa ini orang adalah malaikat yang berupa manusia? Ah. Di sisi lain ada orang yang dari genetiknya, melakukan kekerasan adalah makanan seharinya. Sampai cucu turunannya begitu. Apa ia adalah dari makhluk golongan setan yang berupa manusia? Ah. Ternyata, dualism kebaikan dan keburukan adalah stigma yang berkembang mengikuti tumbuhnya manusia. Orang-orang di luar diri yang justru membuat kategori-kategori baik buruk. Sementara diri terjebak dalam stigma itu. Padahal, semestinya manusia lahir di bumi saya yakin adalah pencarian jiwa kemanusiaannya. Manusia yang pernah punya karier sebagai nabi, rasul, rasul ulul azmi, khulafaur rasidhin. Manusia yang itu sibuk mencari kedirian karier kemanusiaannya.

Saya meyakini bahwa, tiap manusia akan dihadapkan pada lingkaran yang tak jauh beda. Sebut saja lingkaran itu adalah keterikatan hubungan batin. Hubungan yang abstrak, tak nampak, namun kuat. Begini cara kerjanya, katakanlah batin manusia diciptakan saling terhubung dengan satu lainnya sejak di zaman awing-awang. Yang membedakannya adalah lewat orangtua yang beda, pola asuh, lingkungan bermain, hingga cara memandang hidup yang beda. Keterhubungan itu ada sebab manusia diciptakan sebagai makhluk pengasih. Saya yakin tidak ada orang yang semua kontur tubuhnya berasimilasi untuk melakukan kejahatan. Pasti akan ada kebaikan walau sedikit tumbuh di dirinya. Batin adalah cermin ketulusan. Cermin keterhubungan antar satu dengan lainnya. Ketulusan sering disimbolkan dengan hati, nah sekarang saya penasaran apa simbol ketaktulusan? Empedu kah, otak kah, pancreas, mata kah? 

Orang sering menyebut “lihatlah matanya, di sana lah cermin ketulusannya.” Tak ada yang mengatakan “lihatlah matanya, di sana orang nampak kebejatannya.” Saya yakin, tiap orang punya harapan saling kasih-mengasihi. Meyakini potensi walau kecil untuk dikembangkan dari mengorek masalah yang terus tumbuh mekar. 

Dewi Maghfi
Pian Tengah, Natuna 

Tidak ada komentar: