Aku terbayang dengan
Ersha. Sebuah nama yang baru saja ada di benakku pagi tadi. Ketika ku berimaji
di kamar mandi. Ya, Ersha. Walau nama itu baru terlintas, aku sudah begitu
mengenalmu. Kita sudah pernah bertemu bukan? Di teras sekolah, aku dan kamu.
Ersha kau pasti sukses.
Dengan khayalan-khayalan dan mimpi-mimpimu. Kala itu kau bercerita tentang kamu
dan hobimu. Lima menit aku mengenalmu seakan sudah seperti kakak adek. Padahal
aku dan kakakku tak selumer itu, dulu. Sekarang lengket. Kau membuka pertanyaan
yang banyak. Kau memintaku untuk memberi tanggapan atas pertanyaanmu. Begitu
hingga satu dua jam.
“aku heran dengan
teman-temanku yang rangking paralel di sekolah?” ungkapnya.
“kenapa?”
“Dia itu hanya pintar di
atas kertas. Bahkan itu pun patut diragukan. Di dalam kelas ia cenderung pasif.
Sesekali aku memergokinya dengan contekan yang ia bikin saat ujian”
“ohhh”
“aku memang bodoh dalam
hal pelajaran, apalagi menghitung. Namun, tak sampai hati untuk menyontek.
Banyak nilaiku yang di bawah standar”.
Ia menerangkan hobinya.
Aku suka dengan karya sastra. Novel khususnya. Sudah banyak novel trilogi
maupun seri yang dibabat habis. Membaca novel Harry Potter sudah di mulai sejak
ia sekolah dasar. Agata Christine, andrea hirata lewat. Alias bukan lagi
pengarang yang masuk dalam kelasnya. Ia bercerita dengan meluap-luap ketika
ibunya menyingkirkan novel-novel yang ia miliki. Ia sempat berhari-hari tak
membuka sepatah katapun pada ibunya.
“kamu tahu nda, kak. Aku
membeli novel itu dengan menyisihkan uang saku habis-habisan. Bagaimana tak
marah!”
Ia sempat meraba dirinya
sendiri. Mengapa ia semaniak ini pada novel. Padahal saudara-saudaranya tak
seperti itu. Apalagi kedua orang tuanya. Pantas saja jika ibunya selalu
marah-marah karena ia dikira kelainan. Ia menjelaskan jika saudara-saudaranya
itu sangat pintar di bidang akademik. Selalu dapat rangking di kelas.
Sementara, ia selalu kena marah sama guru karena nilainya jeblok. Di tambah
lagi SMA ini ia ikut organisasi intra sekolah. Semakin padatlah jadwal untuk
organisasi dan membaca.
Setelah kejadian buang
membuang novel oleh ibunya ia semakin tak bebas membaca di rumah. Makanya ia
sering menghabiskan waktu di sekolah hingga sore hanya untuk membaca.
“aku harus umpet-umpetan
saat membaca novel di rumah”
Orang tuanya selalu
membandingkan ia dengan saudaranya. Prestasi akademiknya yang tak bagus itu
selalu menjadi bahan perbincangan. Terkadang ia jengkel dengan keluarganya.
Kala itu, aku memberikan
saran, lakukanlah apa yang kamu suka. Orang pintar tak selalu terukur oleh
akademik. Dan janganlah juga kau membenci ibumu. Cobalah kau tunjukkan apa yang
kamu bisa itu kepada ibumu.
Terjadi salah kaprah
memang di masyarakat. Khususnya di desa. Karena orang tua yang kolot dan tak
cukup mengenyam pendidikan. Mereka mengira orang pintar ya yang mendapat
rangking di sekolah.
Kabar gembira aku dengar
darinya. Ia menjuarai kompetisi menulis cerpen tingkat daerah. Tak
tanggung-tanggung ia menggondol juara satu. Setelah itu, ibunya mulai mengerti.
Namun tak sepenuhnya. Ersha kejarlah mimpimu. Aku turut mengamini mimpimu yang
ingin kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Malaysia. Walau
rencanamu itu tak diketahui satupun dari keluargamu.
Ersha, saat kau berada
dalam kondisi yang sulit kau berani untuk memulainya kembali. Kau memulai dari
nol untuk meyakinkan orang tuamu. Beda memang dari saudara-saudarmu yang dengan
mudah mendapat kepercayaan dari orangtua. Nol itu angka yang spesial. Jika kau
mampu keluar dari garis lingkarnya kau akan mudah meraih angka satu. Angka yang
diidam-idamkan manusia. Begitu juga kau harus memulai menyukai pelajaran di
sekolah dari nol. Tak apa Ersha, pengalamanmu sudah se gudang. Kau hebat.
Ersha, aku menunggu kabar darimu.
2 komentar:
Hmm...nol dan novel, analogi yang menarik, Wi. :)
Thanks Imam. :)
Posting Komentar