2 Oktober 2013
Suara hening menyambut pagi kali ini. di
atas Komputer ini kumulai merangkai huruf-huruf yang semestinya sudah
berceceran. Ya, mengulas sebuah cerita. Mengenang suatu peristiwa. Walau dalam
memulainya pun harus aku mulai darimana, semakin timbul pertanyaan.
“Kau yakin tidak, bahwa
pertemuan itu tak harus secara fisik?” ujarku pada Felix.
“Maksudnya?”
“Iya, bahwa mimpi-mimpimu,
imajinasimu, tentulah sering mempertemukanmu pada ide-ide liar, cara-cara jitu,
atau bahkan sosok yang sudah atau tidak kamu kenal.”
“Untuk bertemu sosok, aku
yakini harus bertatap muka. Kurang afdol jika tidak.”
“Lhoh, bagaimana kau
mengelak. Akun facebookmu tiga, akun twittermu dua, belum lagi email, bbm, dll.
Apa semua temen di medsosmu sudah pernah bertatap muka denganmu?”
Felix sontak diam. Mulutnya disumpal rapat-rapat. Tak ada satu huruf
pun yang keluar.
***
Di atas meja coklat, kumulai
mengocok kartu remi. Aku tak sepandai mereka yang lihai memainkan kartu. Aku
baru pemula. Perjanjian permainan kali ini, bagi yang kalah tiga kali
berturut-turut harus bercerita apapun tentang dirinya.
Ada satu pembelajaran
penting dalam permainan kali ini. Tarmin –Bandar remi senior, agaknya ingin
mengajak siapapun berbicara. Ia mahasiswa hukum, selalu ia menekankan bahwa
setiap insan mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat. Apa gunu mulut jika tak
digunkan untuk bersuara. Barang, ada kekeliruan itu hal yang sangat wajar.
Asal, tak ada maksud mencelakai siapapun dalam berucap.
“Yo, ada yang berani tidak?
‘King’,” ujar Tarmin.
“Berani to ya. ‘As’,” timpal
Aziz.
Dalam lingkaran cengkrama, gelak tawa tak henti-hentinya mengocok isi
perut. Bahasa-bahasa mulai mengalir dari mulut ke mulut. Uteke, lambenem, fuck,
masyaallah, innalillah, dll.
Tarmin yang sangat piawai
memainkan kartu, agaknya tergopoh-gopoh dengan tiga pemain pemula. Aku, Santox,
dan Ganbaret. Aku mengenal dua rekan ini, baru tadi di masjid. Ia sangat
tertarik dengan arsitektur masjid kuno tersebut. Tangan kanan Ganbaret memegang
kamera, sementara tangan kirinya mengarahkan gaya Santox.
“Rada mepet tembok dikit.
Mundur,” ujar Ganbaret pada Santox sembari menggerak-gerakkan tangan kirinya.
“Mb, saya minta tolong
difotoin berdua ya?” ucapnya padaku.
“Oh. Oke.”
Setelah jeprat-jepret, aku
mengajak mereka untuk bertanjang di gubug kami. Gubug yang tak lebih terbuat
dari susunan batu bata. Kata orang megah. Namun, apa gunanya kemegahan jika tak
ada orang yang menganggap bahwa diri sendiri itu juga megah. Di lingkaran itu
kami menyusup. Kami turut mengambil bagian.
3 Oktober 2013
Satu dua kali, aku menang.
Melibas para pemain senior. Tawaku terbahak, agaknya telah menampar diri
sendiri. Dalam pertaruhan permainan ketigaku, aku keos. Kalah telak. Sontak,
gemetar. Aku khawatir aku harus bercerita apa. aku orang yang susah untuk
bercerita, tentang apapun, menyoal susah atau senang. Biasanya aku hanya diam
dan merenung. Bahkan kepada keluarga pun aku tak bisa mengungkapkan semua
cerita. Bagiku, ada hal-hal yang bisa aku ceritakan ada hal yang tak bisa aku
ceritakan. Termasuk bercerita untuk diri sendiri pun terkadang sulit. Karena
aku kalah, giliranku untuk bercerita. Aku bercerita tentang seorang temanku,
Zuhdan namanya. Aku lupa kapan pertama kali aku mengenalnya.
Kami sering kontak, saling
memberi informasi. Tak jarang kami mengobrolkan hal-hal yang tak penting.
Walaupun tak sering, namun komunikasi kami terbilang continue. Terkadang aku menjadi pemecah suasana, terkadang pula aku
malas untuk membalas pesannya ketika sedang tak mood.
Aku sendiri terheran-heran.
Aku hampir tidak bertatap muka satu tahun lamanya. Aku hanya tahu dia lewat
medsosnya. Yang terkadang ia memasang gambar narsisnya. Sudah. Itu.
Suatu ketika aku pernah
membincangkan ini, “Eh, kita kog lucu ya. Nda pernah ketemu, namun sering
komunikasi. Haha,” ujarku.
“Yah, suatu saat nanti,
kalau sudah tepat waktunya, ya bakal ketemu. Hehe,” jawabnya.
Aku merasa bahwa Zuhdan
teman baruku. Namun, ia teman lamaku. Aku merasa sudah lama mengenalnya. Entah
di mana, ketemu dimana, pokonya ia teman lamaku. Kali ini, aku merasa bahwa
teman imajinasi itu nyata. Walaupun belum pernah bertemu. Bahwa teman itu bukan
menyoal seberapa sering kita bertemu, seberapa sering kita bermain bersama.
Namun, aku mencoba mengembalikan sebagaimana mestinya fungsi teman.
Jadi, ketika belakangan aku
bertemu secara tatap muka langsung,tak ada yang aku herankan. Aku seperti sudah
pernah bertemu dan ngobrol dengannya. Aku pun merasa bahwa kita tak ada sekat.
Sebelum dan sesudah bertemu pun masih sama. Tak ada komunikasi yang terputus
atau komunikasi yang berlebihan. Aku mengartikan pertemanan seperti ini adalah
pertemanan yang sederhana. Yang tak menuntut kau harus membela aku ketika aku
lemah atau sebaliknya. Teman tentulah sudah sangat peka terhadap apa yang
dialami karibnya. Tanpa harus diminta. Itu ada padanya.
Akhir ceritaku, Zuhdan, kau
teman yang sederhana. Yang sudah aku imajinasikan di masa lampau, yang sekarang
pun masih dalam imajinasi.
***
4 Oktober 2013
Alunan musik terdengar lirih.
Syair-syairnya begitu sahdu. Tidak lain Peterpan yang sekarang Noah. Sudah
kucoba untuk tak memutarnya barang sehari, namun rindu. Begitulah kerinduan
yang selalu melanda. Lagu yang sederhana. Namun, membuatku rindu. Jatuh
bangunnyalah yang membuatku salut.
“Hai, kau sudah berapa lama
duduk di sini?” ujar Ima padaku.
“Aku... aku...”
“Bangun dan bergegaslah
pulang. Hujan akan turun. Sementara kapal akan berlabuh 8 menit lagi.”
Imajinasi bisa terwujud
menjadi kenyataan. Kenyataan menuntut sebuah imajinasi. Lingkaran imajinasi dan
kenyataan menjadi dualisme untuk perkembangan sebuah peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar