TABU merupakan hal yang menjadikan diri seseorang memilih untuk tidak melakukan tindakan. Alasan yang sangat klasik ‘tabu’. Salah kaprah dalam masyarakat tabu dianggap sebagai hal atau tindakan yang apabila dilakukan keluar dari norma. Padahal tidak selamanya tabu berimplikasi pada hal yang tidak baik.
Seperti halnya berbicara terkait reproduksi. Bukan menjadi hal yang rahasia lagi dan tabu. Namun kebanyakan masyarakat masih beranggapan bahwa itu hal yang tabu untuk dibicarakan. Harusnya pemahaman tersebut dapat dihilangkan ketika sudah menyangkut kesehatan. Ya, kesehatan reproduksi sangat penting. Apalagi di kalangan mahasiswa.
Mahasiswa dengan segala bentuk sebutannya (agent of change, agent of control, iron stock) memunculkan warna-warni kehidupan di kampus. Mahasiswa dikatakan sangat tahu akan berbagai hal, namun belum tentu mampu untuk melakukannya. Khususnya dalam berperilaku.
Kehidupan mahasiswa dalam kampus memunculkan dualisme sisi. Kondisi yang kebanyakan dari mereka jauh dari pengawasan orang tua, ngekos, dan seenaknya sendiri. Ada mahasiswa yang benar-benar menjalankan hidup sosial masyarakat mengacu pada norma dan agama. Sebaliknya mereka yang sudah terlena dengan kehidupan dunia. Acuh dalam menjalankannya. Melakukan penyimpangan-penyimpangan dianggap sebagai hal yang biasa bahkan wajar. Semisal, melakukan tindakan-tindakan yang tidak diperkenankan dengan pasangan yang belum menikah.
Persoalan seks tidak bisa terlepas dari kehidupan mahasiswa. Keadaan yang labil dan hasrat atau rasa keingintahuan lebih tinggi dengan tidak memikirkan akibatnya. Ditambah lagi tempat-tempat yang sangat mendukung. Kos-kosan yang pemiliknya tidak satu atap, banyaknya kafe, hingga tempat yang dibangun khusus untuk pelampiasan seks. Sudah menjadi pengetahuan umum bila ada elite-elite tertentu yang menjadikannya sebagai sebuah profesi. Nah, persoalan seks memang sangat kompleks di kehidupan kampus. Orang yang dikatakan intelektual itu pun tidak berbanding lurus dengan moral yang diperlihatkan.
Di suatu daerah yang terkenal dengan orang-orang terpelajar pernah dilakukan penelitian terkait hal tersebut. Dan hasilnya sungguh sangat mencengangkan. Sebagian besar mahasiswa sudah pernah melakukan hubungan seks di luar nikah. Orangtua pun turut was-was ketika anaknya diterima di perguruan tinggi di daerah tersebut. Bahkan banyak yang menolak, dan memilih untuk mendaftar lagi di daerah lain. Sebegitu parahkah? Tidak juga. Sebab bukan salah suatu daerah namun bagaimana perilaku orang yang menjadi penghuninya. Hampir semua permasalahan ada dalam diri sendiri. Dan tidak bisa untuk menghakimi daerah atau orang lain.
Hal ini menambah deretan panjang ketika berujung pada KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan). Hal tersebut memang tidak dapat dihilangkan dari kehidupan kampus. Sebab, sudah secara naluriah dari zaman baheula permasalahan seks memang selalu berkembang. Namun apakah kita atau bahkan perguruan tinggi membiarkan hal tersebut? Bahwa seks bukan lagi masalah individu. Sebab, implikasinya sangat kompleks. Kehamilan yang tidak diinginkan akan menambah padatnya jumlah penduduk. Dan itu menjadikan beban suatu negara bertambah pula dalam lingkup sosial ekonomi.
Minim Informasi
Informasi seputar seks minim diperoleh di kampus. Lembaga yang bergerak di dalamnya pun (kesehatan reproduksi) masih sedikit. Padahal, hal ini sangat penting untuk menaungi permasalahan mahasiswa dalam sisi seks. Tidak hanya berkutat pada sisi seksnya namun jauh pada sisi kesehatan. Penyakit-penyakit yang bisa dialami jangka pendek atupun panjang.
Permasalahan seks seharusnya bukan menjadi tabu lagi dibicarakan dalam lingkup pendidikan. Satu sama lain harus mengetahuinya. Mengetahui akibat-akibatnya, dan langkah apa yang harus diambil agar tidak berujung pada penyesalan.
Dengan adanya layanan kesehatan reproduksi diharapkan mahasiswa dapat berkonsultasi, dan menghilangkan jauh-jauh sifat tabu. Tindakan lain yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi yaitu dengan mahasiswa turut bergerak. Dengan mendirikan perkumpulan yang rutin mendiskusikan seputar kesehatan reproduksi. Jadi, saling peduli satu sama lain. Menyosialisasikan hal itu kepada sesama mahasiswa. Lebih-lebih jika dalam perguruan tinggi memiliki jurusan kesehatan. Mereka sebagai penggerak sesama mahasiswa lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar