Selasa, 08 Juli 2014

Sekuntum Bakung


Aku hanya manusia ‘kecil’ di bumi ini. Setiap hari aku hanya menyusur lorong-lorong kecil. Berjumpa dengan Ibet, seorang penjual mangga di pasar kerambil, Sayuti, seorang kepala desa di negeri murka, Lastri, seorang ibu pembantu rumah tangga. Esoknya, menyusur lorong-lorong lain.  Begitu, lagi dan lain. 

Kau, Jen, seorang kawan yang senantiasa hadir padaku. Sahabat barangkali banyak orang menyebutnya. Kalau aku persetan dengan sebutan. Yang hakiki adalah adanya Jen mampu masuk di rongga-rongga kesunyian. Begitu, aku bisa memeluknya setiap saat dan ia pula.


Entah atas apa dan siapa aku mengenal Jen. Bagiku ia hadir tak dinyana-nyana. Begitu saja. Hadir. Kami saling perkenalan, bertemu, berbicara. Esoknya kami bertemu dan berbicara lagi. Di lain hari kami bertemu, bercanda, lalu berjalan menyusuri lorong. Begitu seterusnya hingga kami bosan.
“Jen, ingatkah kapan pertama kali aku dan kamu bertemu?”
“Ah, apa buatmu itu penting?”
“Bagiku itu tak penting. Tapi, ada kerinduan mengenangnya.”
“Setahun yang lalu. Saat kau sering termangu di ruang sunyi. Bangku itu. Itu. Kursi itu. Meja itu. Itu itu,”cerocosmu sembari menatapku tajam dan dengan nada tinggi.
“Stop….Sudah.”
Kenangan terkadang menyakitkan. Serentetan peristiwa yang dirangkai dari kesakitan-kesakitan. Ia jatuh dalam jurang lalu mencoba untuk bangkit. Berdiri lantas jatuh lagi, seterusnya. Hingga menunggu kesunyian di hari-hari selanjutnya. Seindah-indahnya kenangan selalu ada yang berkelindan.
“Bukan. Bagiku kenangan itu hidup. Suatu saat ia akan berkelana untuk mencari teman yang senasib. Atau di saat lain ia mengawini lawan di lintas kenangan. Begitulah,” ujar Jen sembari menepuk pundakku.
Aku dan Jen mempunyai keunikan yang beda. Aku terkadang terjerembab pada lembah kesunyian. Lalu, butuh energi untuk melawannya. Butuh pemikiran lain untuk memelukku. Menggauliku dalam setiap langkah. Namun Jen, ia meremukkan jiwa orang-orang sepertiku dengan mengembalikan pada kekuatan Tuhan. Jen hobi membaca. Membaca apa pun. Apa yang ia lihat dan lakukan berasal dari ia membaca alam, tanda-tanda, peristiwa, dan kitab-kitab.
Jen selalu menjelma dalam kalbu secara pelan dan di saat gurat wajahku senyap. Di keramaian pun ia akan hadir. Ia pintar melihat tanda-tanda padaku. Lalu, ia berkata padaku akan hal lain yang tak sempat aku pikirkan.
***
          Di senja kami sering bertemu. Di tempat itu, di bawah pohon manga yang tak pernah berbuah. Di antara lalu lalang kendaraan. Sempat suatu kali ada yang tersungkur di hadapan kami. “Tarrrr……..” Kira-kira pengendara dan motornya terpisah sejauh tiga ratus meter. Remuk. Negeri ini, ya sudah begitu bising. Hanya di tempat ini kami menikmati kesunyian yang tak sunyi.
          Bayang senja selalu menyorot kami. Di hadapannya aku menguntai cerita. Begitu juga ia. Aku pandangi matanya, dalam, lalu mengembalikan pada senja. Kau benar Jen. Lalu, ketika senja tenggelam kami menangis. Kami saling merangkul dan memapah langkah menuju malam.
***
Obrolan di batas malam itu menyatukan aku dan Jen. Jen katanya, manusia hidup tak berinti. Tak usah mengejar-ngejar inti kehidupan. “Kau tahu inti sekuntum bunga bakung?”
Peta kehidupan sesederhana pertemuanku dengan Jen. Kami menyepakati untuk mengikuti kurva yang alami, yang terus mengalir tanpa inti. Setidaknya dua hal yang perlu dirawat dan diruwat manusia. Bertuhanlah sebaik-baiknya bertuhan. Bercintalah sebaik-baiknya bercinta. Lalu, hidup dan hidupilah, cinta dan cintailah, mekar dan layu.
“Ya, aku tahu Jen. Hidup itu adalah arus, mengalir pelan, mengalir bersama dan berpisah dari alirannya, lalu mengalir bersama lagi, dalam sebuah gerak teramat halus, yang tak bertitik dan tak berujung, bahkan bila terbentur pada benda-benda keras sekalipun. Begitu hidup tak hanya menyoal inti, melainkan arus. Sekuntum bunga bakung bagai sungai kecil yang tak pernah berhenti mengalir, sejak dari kuncup mungil yang muncul di antara dedaunan, batang yang tumbuh perlahan, munculnya kelopak berwarna putih dari kehijauan kuncupnya, hingga menjadi bunga bakung yang bulat, putih, dan ceria yang membuka dan menutup melalui beberapa fajar, beberapa senja, bertahta dengan anggun di pucuk batangnya lalu perlahan-lahan mengeriput dan menghilang secara misterius. Tak ada titik di situ, tak ada jeda, hanya arus kecil yang mengalir tanpa henti.
Memendam kerinduan padamu Jen, yang saat ini sedang aku rasakan. Kau hadir kembali pada wujud yang sewujud-wujudnya. Pada rupa yang serupa-rupanya. Pada senja yang bisa kupeluk.
“Kau benar hadir Jen?” kataku dengan meronta dan mengoyak setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Aku Jen bukan Kau.”
“Kau Jen?”
“Bukan.”
Jen bisa hadir menyerupai siapa saja. Makhluk yang dicipta Tuhan sebagai media untuk menguatkan spiritualitas. Ibu yang sedang memeluk erat suami dan anak-anaknya. Ayah yang hanya dengan mengerdipkan mata membuat seisi ruangan merasa teduh. Kawan yang berbagi dalam cerita lalu saling meneguhkan dan meruntuhkan. Pasangan yang saling mengisi dan memberi ‘wadah’. Lalu, kami yang saling merangkul untuk peduli liyan.
Jen hanyalah Jen. Kau hadir dari jelmaan Jen yang lain. Kau benar hadir nyata dari Jen. Memeluk Kau membantuku untuk bertemu Jen kembali. Aku tak memungkiri dekapan hangat itu menambah bentuk lain dari Jen. Bentuk lain dalam diriku untuk menemu hidup melalui Kau. Kau yang sedang memandangi sekuntum bakung. Dan Tuhan yang selalu hidup. 

DM | Ruang sunyi dan ilusi, 8 Mei 2014