Aku hanya manusia ‘kecil’ di bumi
ini. Setiap hari aku hanya menyusur lorong-lorong kecil. Berjumpa dengan Ibet,
seorang penjual mangga di pasar kerambil, Sayuti, seorang kepala desa di negeri
murka, Lastri, seorang ibu pembantu rumah tangga. Esoknya, menyusur
lorong-lorong lain. Begitu, lagi dan
lain.
Kau, Jen, seorang kawan yang
senantiasa hadir padaku. Sahabat barangkali banyak orang menyebutnya. Kalau aku
persetan dengan sebutan. Yang hakiki adalah adanya Jen mampu masuk di rongga-rongga
kesunyian. Begitu, aku bisa memeluknya setiap saat dan ia pula.
Entah atas apa dan siapa aku
mengenal Jen. Bagiku ia hadir tak dinyana-nyana. Begitu saja. Hadir. Kami
saling perkenalan, bertemu, berbicara. Esoknya kami bertemu dan berbicara lagi.
Di lain hari kami bertemu, bercanda, lalu berjalan menyusuri lorong. Begitu
seterusnya hingga kami bosan.
“Jen, ingatkah kapan pertama kali
aku dan kamu bertemu?”
“Ah, apa buatmu itu penting?”
“Bagiku itu tak penting. Tapi, ada
kerinduan mengenangnya.”
“Setahun yang lalu. Saat kau sering
termangu di ruang sunyi. Bangku itu. Itu. Kursi itu. Meja itu. Itu
itu,”cerocosmu sembari menatapku tajam dan dengan nada tinggi.
“Stop….Sudah.”
Kenangan terkadang menyakitkan. Serentetan
peristiwa yang dirangkai dari kesakitan-kesakitan. Ia jatuh dalam jurang lalu
mencoba untuk bangkit. Berdiri lantas jatuh lagi, seterusnya. Hingga menunggu
kesunyian di hari-hari selanjutnya. Seindah-indahnya kenangan selalu ada yang
berkelindan.
“Bukan. Bagiku kenangan itu hidup.
Suatu saat ia akan berkelana untuk mencari teman yang senasib. Atau di saat
lain ia mengawini lawan di lintas kenangan. Begitulah,” ujar Jen sembari
menepuk pundakku.
Aku dan Jen mempunyai keunikan yang
beda. Aku terkadang terjerembab pada lembah kesunyian. Lalu, butuh energi untuk
melawannya. Butuh pemikiran lain untuk memelukku. Menggauliku dalam setiap
langkah. Namun Jen, ia meremukkan jiwa orang-orang sepertiku dengan
mengembalikan pada kekuatan Tuhan. Jen hobi membaca. Membaca apa pun. Apa yang
ia lihat dan lakukan berasal dari ia membaca alam, tanda-tanda, peristiwa, dan
kitab-kitab.
Jen selalu menjelma dalam kalbu
secara pelan dan di saat gurat wajahku senyap. Di keramaian pun ia akan hadir.
Ia pintar melihat tanda-tanda padaku. Lalu, ia berkata padaku akan hal lain
yang tak sempat aku pikirkan.
***
Di senja kami sering bertemu. Di
tempat itu, di bawah pohon manga yang tak pernah berbuah. Di antara lalu lalang
kendaraan. Sempat suatu kali ada yang tersungkur di hadapan kami. “Tarrrr……..”
Kira-kira pengendara dan motornya terpisah sejauh tiga ratus meter. Remuk.
Negeri ini, ya sudah begitu bising. Hanya di tempat ini kami menikmati
kesunyian yang tak sunyi.
Bayang senja selalu menyorot kami. Di
hadapannya aku menguntai cerita. Begitu juga ia. Aku pandangi matanya, dalam,
lalu mengembalikan pada senja. Kau benar Jen. Lalu, ketika senja tenggelam kami
menangis. Kami saling merangkul dan memapah langkah menuju malam.
***
Obrolan di batas malam itu
menyatukan aku dan Jen. Jen katanya, manusia hidup tak berinti. Tak usah
mengejar-ngejar inti kehidupan. “Kau tahu inti sekuntum bunga bakung?”
Peta kehidupan sesederhana
pertemuanku dengan Jen. Kami menyepakati untuk mengikuti kurva yang alami, yang
terus mengalir tanpa inti. Setidaknya dua hal yang perlu dirawat dan diruwat
manusia. Bertuhanlah sebaik-baiknya bertuhan. Bercintalah sebaik-baiknya
bercinta. Lalu, hidup dan hidupilah, cinta dan cintailah, mekar dan layu.
“Ya, aku tahu Jen. Hidup itu adalah
arus, mengalir pelan, mengalir bersama dan berpisah dari alirannya, lalu
mengalir bersama lagi, dalam sebuah gerak teramat halus, yang tak bertitik dan
tak berujung, bahkan bila terbentur pada benda-benda keras sekalipun. Begitu
hidup tak hanya menyoal inti, melainkan arus. Sekuntum bunga bakung bagai
sungai kecil yang tak pernah berhenti mengalir, sejak dari kuncup mungil yang
muncul di antara dedaunan, batang yang tumbuh perlahan, munculnya kelopak
berwarna putih dari kehijauan kuncupnya, hingga menjadi bunga bakung yang
bulat, putih, dan ceria yang membuka dan menutup melalui beberapa fajar,
beberapa senja, bertahta dengan anggun di pucuk batangnya lalu perlahan-lahan
mengeriput dan menghilang secara misterius. Tak ada titik di situ, tak ada
jeda, hanya arus kecil yang mengalir tanpa henti.
Memendam kerinduan padamu Jen, yang
saat ini sedang aku rasakan. Kau hadir kembali pada wujud yang
sewujud-wujudnya. Pada rupa yang serupa-rupanya. Pada senja yang bisa kupeluk.
“Kau benar hadir Jen?” kataku dengan
meronta dan mengoyak setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Aku Jen bukan Kau.”
“Kau Jen?”
“Bukan.”
Jen bisa hadir menyerupai siapa
saja. Makhluk yang dicipta Tuhan sebagai media untuk menguatkan spiritualitas. Ibu
yang sedang memeluk erat suami dan anak-anaknya. Ayah yang hanya dengan
mengerdipkan mata membuat seisi ruangan merasa teduh. Kawan yang berbagi dalam
cerita lalu saling meneguhkan dan meruntuhkan. Pasangan yang saling mengisi dan
memberi ‘wadah’. Lalu, kami yang saling merangkul untuk peduli liyan.
Jen hanyalah Jen. Kau hadir dari
jelmaan Jen yang lain. Kau benar hadir nyata dari Jen. Memeluk Kau membantuku
untuk bertemu Jen kembali. Aku tak memungkiri dekapan hangat itu menambah
bentuk lain dari Jen. Bentuk lain dalam diriku untuk menemu hidup melalui Kau.
Kau yang sedang memandangi sekuntum bakung. Dan Tuhan yang selalu hidup.
DM
| Ruang sunyi dan ilusi, 8 Mei 2014