Rabu, 19 Agustus 2015

Tuhan Ada Dimana-mana


            “Katanya Tuhan itu cuma satu. Tapi kog ada dimana-mana?”

Medio 2013, saya menjumpai bukunya qurais shihab yang berjudul Tuhan Ada Dimana-mana di Togamas. Seketika langsung menarik pandanganku. Membeli buku sebelum dibuka plastiknya, bagiku aneh. Aku akan meminta petugas membukakan plastiknya atau akan diam-diam ku buka sendiri. Kebiasaan ini yang pernah membuatku deg-degan di pintu utama Togamas karena barcode yang masih menempel di plastik yang ku kantongi. “Wah bagaimana ini, jika bel akan berbunyi seperti di perpustakaan Unnes?” Untunglah tidak.

Kebiasaan memalukan di toko buku memang sering ku alami. Seperti jinjit-jinjit untuk mengambil buku di rak atas, dan ternyata ada seseorang yang memperhatikan. Kayak di sinetron gitu lah. Tetiba ada tangan lelaki dari belakang lalu menyodorkannya padaku. Haish, untung saja aku kagak suka nonton sinetron. Atau mau mengambil buku yang sama, namun tinggal satu. Diusir satpam gegara nglesot menamatkan suatu buku. Duh,
Buku tuhan ada dimana-mana itu berkesan bagiku. aku memang suka dengan pemikiran-pemikiran Quraish. Berawal dari acara tafsir Al-Misbah kala Ramadhan tiba di telepisi. Anehnya, aku beli buku itu dan malah kuberikan pada teman. Aku kadang memang seperti itu. Membaca sebentar, tapi lalu keinget banyak hal. Dan akhirnya muncullah pilihan, akan ke tangan siapakah buku ini selanjutnya?

Taraa, buku itu sampailah ke tangan temen. Namun, ada sedikit kesedihan bahwa buku itu masih rapi sebungkus-bungkusnya. Mungkin juga tidak dibuka sama sekali. Sedih rasanya. Oh iya, aku sadar bahwa minat terhadap topik buku tertentu kan tidak bisa dipaksakan. Setelahnya, setiap kali buku yang berarti bagiku berpindah tangan, aku relakan pada pembacanya akan seperti apa nasibnya. Entah dibaca atau tidak monggo. Aku hanya punya keyakinan bahwa buku itu setidaknya dapat menjadi teman. begitu juga aku, buku lah teman terbaikku saat ini.

Tepatnya 29 Juli 2015 kemarin, aku kembali menyapa Ki Kirno. Pelukis asal Temanggung. Ini tahun ketiga aku menjaga silaturrahmi. Obrolan kami dari pertemuan pertama hingga ketiga ini memang tak keluar dari tema perjalanan. Aku itu orang yang haus akan cerita. Dan bukan pencerita yang menarik dan baik. Bertemu Pak Kirno menjadi kesenanganku. Aku tidak membayangkan bahwa aku akan bertemu orang yang berbagai rupa dan laku. Sebab, dari kecil aku hidup dengan orang-orang yang serupa. Aku seorang muslim. Islam yang kami pahami islam yang saklek, lebih tepatnya orang tua, bapakku. Sejak kecil, sering sekali aku mendengar kosa-kata ekstrim. Misalnya, orang yang tidak salat itu kafir. Orang yang tak pernah ke masjid itu kafir.

Kehidupanku di rumah memang nampak agamis. Dari kecil aku harus ngaji ini dan itu, belajar tajwid, sekolah madrasah dengan hafalan ngeprel, maknani gandul kitab kuning, dan belajar qira’. Sebab, dulu cita-cita bapakku pokoknya anaknya ada yang pintar agama lebih-lebih hafal alquran. Dan akulah yang mesti menerima keinginan itu. Harus nganut.

Nah, saat kuliah aku melihat dunia yang beragam. Aku mesti hidup dengan orang muslim yang tidak menjalankan salat lima waktu, aku berteman dengan orang muslim dengan meyakini sepenuhnya syariat yang mengaturnya, aku bersahabat dengan seorang kristiani, aku bersahabat dengan seorang penganut islam garis keras, aku berkawan dengan seorang hindhu, aku sering mengikuti acara yang mesti menanggalkan apapun agamanya berasal.
Itu yang sering membolak-balik hati dan pikiranku. “Aku dididik dalam lingkungan islam, namun banyak perbuatan-perbuatan yang tak menunjukkan itu seorang muslim. Lebih tepatnya, islam yang berada di lingkunganku masih dalam ruang-ruang ritus. Belum mencapai hakikat hidup dalam keislaman. Mendidik dengan cinta damai, penuh kasih, kelembutan, dan memperlakukan sama perempuan dan laki-laki.

Pernah pada fase bahwa aku ingin istirahat melakukan ritus seperti salat lima waktu. Aku mengambil jeda untuk meresapi ke dalam diri. Tak lain memang sebab obrolan, pengalaman teman, dan bacaan. Aku memang tak membatasi bacaan. Apapun yang bagiku menarik akan ku baca. Nah, lama kelamaan aku pada titik kebuntuan. Aku benar-benar kalut dengan diriku. Apa membaca memang menambah pengetahuan? Apa kita mesti meyakini apapun yang kita baca? Motif apakah yang sengaja dilakukan penulis pada pembaca? Dengan membaca, pikiran kita sengaja digerakkan oleh penulis? Kalau ini memang. Jadi, kenapa orang yang membaca itu dijuluki dengan jendela pengetahuan sebab ilmu akan masuk. Dan diri yang semestinya punya filter atas itu. Tidak semua-mua kita benarkan dan yakini.

Tuhan itu bergerak pada hal-hal di luar batas kemampuan manusia. Pernah kah disadari bahwa, mengapa kita dihadapkan pada orang-orang yang serupa? Kita dipertemukan pada orang-orang baru yang sedang mencari hal yang sama denganmu? Intuisimu akan bergerak jika kamu berusaha menjadi orang yang berusaha melepaskan segala sesuatu hal? Kamu tidak bisa melihat satu kondisi dan hati nuranimu terketuk? Tuhan menyelamatkanmu dari marabahaya yang tak pernah terduga? Lalu, kamu mencoba meresapi jalur perjalanan yang dihadapkan pada masing-masing. Tentu satu dengan yang lainnya akan beda. Nah, di situ lah Tuhan-Mu.

Mungkin ini memang nampak sepele. Namun, tidak akan disadari jika kita tak pernah menelisiknya. Sama seperti saat kita menjalankan rutinitas sehari-hari namun tanpa pernah mau merenung dan menemukan makna dibaliknya. Aku pahami, dengan melakukan salat lima waktu aku menjadi rileks dan nyaman. Salat juga bisa sebagai meditasi. Mengapa salat ditekankan khusyu’, sebab khusyu’ adalah tentang kerelaan melepas hal-hal di luar diri.


Begitu saat bertemu dengan Pak Kirno, aku dan ia sepaham pada jalan keimanan yang ditempuh masing-masing. Bahwa perjalanan spiritualitas adalah jalan panjang. Jalan menuju diri. Bukan untuk membenarkan keimanan masing juga tidak mengamalkan keyakinan liyan tanpa tahu maknanya. Ini memang jalat berat. Sungguh berat. Pada akhirnya, kami butuh ruang untuk bercerita dan mendengar. Dan tetap Tuhan maha tahu dari niat baik tiap manusia. Sama ketika aku mulai gelisah, ku amati telapak tangan kananku dan rangkaian jari itu menunjukkan lafal Allah. Betapa kuasa-Nya, ia menuntun manusia untuk menyemai rahman dan rahim. Wallahu a’lam Bis Sawam.