Hari pertama hadir di
diskusi soal penguatan toleransi dan penangkalan terorisme dari instansi
mentereng, aku masih meraba-raba. Skeptis dan pesimis, jujur. Pada sesi pertama
pemaparan, kepala rasanya teraduk-aduk. Orang-orang ternama dari berbagai institusi
memaparkan materi dengan angka-angka juga definisi-definisi gaya akademisi
sekali! Pembicaraan lalu bergulir terus ke arah NII atau belakangan menjadi
ISIS. Bagaimana latar belakang, motifnya, perjalanan pelaku, perekrutan
jaringan internasional detail dipaparkan. Perut kian mual. Beginikah rupa
dunia? Ngeri!
Walau katanya, radikalisme
bukan hanya soal agama, toh negeri ini sudah terlabeli ‘negeri sarang teroris’.
Dan itu dilakukan oleh beberapa pemeluk agama mayoritas di Indonesia. Cerita
kawan-kawan yang pernah ke negeri orang juga tak lain pada bahasan tersebut.
“Are you from?”
“I am from Indonesia.”
“O, Indonesia is the
terrorist land.”
Walau banyak yang
mengagumi budaya negeri ini, juga mencibir sebagai sarang teroris.
Kabar haru datang dari
Farha Ciciek sebagai pendamping kampung pluralisme di Ledokombo Jember dan
aktivis islam damai Irfan Amalee. Satu hal yang tak banyak diminati orang yakni
menjaga harapan. Dan kedua orang ini, mewujudkan harapan. Satu pilihan yang
butuh peluh lebih, tenaga lebih, serta waktu lebih. Dan semua itu perlu
pemahaman, hubungan antar manusia-Tuhan bukan hanya soal syariat, namun hakikat.
Abdih adalah seorang kawan
bermain-main kecilku. Kami, kala kecil paling suka bermain-main menjadi guru.
Mempraktikkan bagaimana mengajar siswa plus memarahi jika bandel. Maklum, kami
masih menikmati dipukul guru pakai rotan kala tak lancar hafalan. Ah. Kami juga
satu seperguruan ngaji tartil (baca al-quran dengan tajwid) sebelum
masing-masing memilih kota perantauan. Aku ingat betul, kala itu bacaanku lebih
fasih. Namun, kini ia bahkan lebih ‘ngeprel’ dalam membaca quran dengan tartil.
Sadar betul, aku memang kian jarang membuka kitab suciku, Abd. Dyaar!
Abd, dari selentingan
tetangga-tetangga, ada yang meresahkan perubahanmu. Kamu yang sekarang memakai
busana lebih cingkrang, jenggot yang kian lebat nan panjang, juga bersalaman
hanya dengan sesama jenismu, kecuali pengecualian. Hal macam itu, bukan menjadi
soal bagiku. Maka, bertemu denganmu dan bercakap menjadi hal yang ku nanti.
Dan, walau hanya beberapa jam aku tak ingin terjebak pada percakapan yang
ndakik sehingga aku-kamu membenarkan sebenar-benarnya keyakinan masing. Aku
tidak mau, Abd. Aku mencoba menyelipkan ingatan masa kecil dimana kita dulu
tumbuh. Tentang ketakutan pada orang tua ketika bermain tak ‘eling wayah.’ Tapi,
bukankah itu sungguh wajar di masa kanak? Begitullah, mungkin sebab kasih
sayang orang tua yang berlebih. Padahal Rabindranath Tagore bersyair dalam
Gitanyali tentang dimana anak-anak berkumpul, bermain. “Di pantai dunia tiada
berbatas,” kata Tagore.
Kamu, dari ceritamu sedang
menjalani proses untuk memahami islam yang kaffah. Juga, sering melakukan
kajian islamis dengan kawan-kawan di salah satu gerakan yang banyak orang
mengenalnya dengan gerakan radikal. Cita-cita memiliki negara dengan menegakkan
syariat islam juga kau utarakan. Bahkan dunia. Kadang, ada titik dimana
aku-kamu meluap-luap untuk memaparkan keyakinan masing. Juga, dimana aku-kamu
mesti berpikir dan suasana menjadi senyap. Walau kita tidak pernah menyepakati
bagaimana arah obrolan ini akan bermuara, kita saling paham dengan
ketaksepemahaman bukan? Kita saling memosisikan menjadi kendi bocor. Bukan
kendi yang tertutup. Dan dengan keyakinan kita masing-masing, air bocoran itu
tetap kita tampung bukan dibiarkan tumpah ruah.
Gandhi telah tiada.
Terlalu muluk bukan, jika Gandhi terus diseret ke sana ke mari menyoal
perdamaian? Tanpa memahami dan memaknai laku perjalanannya dalam laku diri.
Laku itu kelaku kanthi setiti. Sebab setiti itu ngati-ngati, bukan fanatik atau
gegabah. Apalagi dengan menebarkan kebencian, kekejaman, membombardir, dan
saling membunuh. Semua itu hanya merusak diri, benar merusak. Kalau dalam novel
Aleph karya Paulo Coelho hal demikian dinamakan faal. Semacam tanda yang hadir
dalam diri manusia tiap ia melakukan tindakan. Entah atas ketulusan hati atau
menciderai liyan. Tanda itu hadir dan tidak banyak yang mau meluangkan waktu
sejenak untuk berpikir di ujung hari yang lalu berganti di hari berikutnya.
Itulah Abd, mengapa aku menjadi anak yang berjingkrak jika bertemu senja.
Sebab, senja mengingatkan pada hal sebentar. Ya, tiap manusia akan kembali pada
haribaan-Nya.
Dewi
Maghfi, penikmat sunyi