Rabu, 19 Agustus 2015

Abdih, Kau kah kini….


Hari pertama hadir di diskusi soal penguatan toleransi dan penangkalan terorisme dari instansi mentereng, aku masih meraba-raba. Skeptis dan pesimis, jujur. Pada sesi pertama pemaparan, kepala rasanya teraduk-aduk. Orang-orang ternama dari berbagai institusi memaparkan materi dengan angka-angka juga definisi-definisi gaya akademisi sekali! Pembicaraan lalu bergulir terus ke arah NII atau belakangan menjadi ISIS. Bagaimana latar belakang, motifnya, perjalanan pelaku, perekrutan jaringan internasional detail dipaparkan. Perut kian mual. Beginikah rupa dunia? Ngeri!

Walau katanya, radikalisme bukan hanya soal agama, toh negeri ini sudah terlabeli ‘negeri sarang teroris’. Dan itu dilakukan oleh beberapa pemeluk agama mayoritas di Indonesia. Cerita kawan-kawan yang pernah ke negeri orang juga tak lain pada bahasan tersebut.
“Are you from?”
“I am from Indonesia.”
“O, Indonesia is the terrorist land.”
Walau banyak yang mengagumi budaya negeri ini, juga mencibir sebagai sarang teroris.

Kabar haru datang dari Farha Ciciek sebagai pendamping kampung pluralisme di Ledokombo Jember dan aktivis islam damai Irfan Amalee. Satu hal yang tak banyak diminati orang yakni menjaga harapan. Dan kedua orang ini, mewujudkan harapan. Satu pilihan yang butuh peluh lebih, tenaga lebih, serta waktu lebih. Dan semua itu perlu pemahaman, hubungan antar manusia-Tuhan bukan hanya soal syariat, namun hakikat.

Abdih adalah seorang kawan bermain-main kecilku. Kami, kala kecil paling suka bermain-main menjadi guru. Mempraktikkan bagaimana mengajar siswa plus memarahi jika bandel. Maklum, kami masih menikmati dipukul guru pakai rotan kala tak lancar hafalan. Ah. Kami juga satu seperguruan ngaji tartil (baca al-quran dengan tajwid) sebelum masing-masing memilih kota perantauan. Aku ingat betul, kala itu bacaanku lebih fasih. Namun, kini ia bahkan lebih ‘ngeprel’ dalam membaca quran dengan tartil. Sadar betul, aku memang kian jarang membuka kitab suciku, Abd. Dyaar!
            
Abd, dari selentingan tetangga-tetangga, ada yang meresahkan perubahanmu. Kamu yang sekarang memakai busana lebih cingkrang, jenggot yang kian lebat nan panjang, juga bersalaman hanya dengan sesama jenismu, kecuali pengecualian. Hal macam itu, bukan menjadi soal bagiku. Maka, bertemu denganmu dan bercakap menjadi hal yang ku nanti. Dan, walau hanya beberapa jam aku tak ingin terjebak pada percakapan yang ndakik sehingga aku-kamu membenarkan sebenar-benarnya keyakinan masing. Aku tidak mau, Abd. Aku mencoba menyelipkan ingatan masa kecil dimana kita dulu tumbuh. Tentang ketakutan pada orang tua ketika bermain tak ‘eling wayah.’ Tapi, bukankah itu sungguh wajar di masa kanak? Begitullah, mungkin sebab kasih sayang orang tua yang berlebih. Padahal Rabindranath Tagore bersyair dalam Gitanyali tentang dimana anak-anak berkumpul, bermain. “Di pantai dunia tiada berbatas,” kata Tagore.
            
Kamu, dari ceritamu sedang menjalani proses untuk memahami islam yang kaffah. Juga, sering melakukan kajian islamis dengan kawan-kawan di salah satu gerakan yang banyak orang mengenalnya dengan gerakan radikal. Cita-cita memiliki negara dengan menegakkan syariat islam juga kau utarakan. Bahkan dunia. Kadang, ada titik dimana aku-kamu meluap-luap untuk memaparkan keyakinan masing. Juga, dimana aku-kamu mesti berpikir dan suasana menjadi senyap. Walau kita tidak pernah menyepakati bagaimana arah obrolan ini akan bermuara, kita saling paham dengan ketaksepemahaman bukan? Kita saling memosisikan menjadi kendi bocor. Bukan kendi yang tertutup. Dan dengan keyakinan kita masing-masing, air bocoran itu tetap kita tampung bukan dibiarkan tumpah ruah.
            
Gandhi telah tiada. Terlalu muluk bukan, jika Gandhi terus diseret ke sana ke mari menyoal perdamaian? Tanpa memahami dan memaknai laku perjalanannya dalam laku diri. Laku itu kelaku kanthi setiti. Sebab setiti itu ngati-ngati, bukan fanatik atau gegabah. Apalagi dengan menebarkan kebencian, kekejaman, membombardir, dan saling membunuh. Semua itu hanya merusak diri, benar merusak. Kalau dalam novel Aleph karya Paulo Coelho hal demikian dinamakan faal. Semacam tanda yang hadir dalam diri manusia tiap ia melakukan tindakan. Entah atas ketulusan hati atau menciderai liyan. Tanda itu hadir dan tidak banyak yang mau meluangkan waktu sejenak untuk berpikir di ujung hari yang lalu berganti di hari berikutnya. Itulah Abd, mengapa aku menjadi anak yang berjingkrak jika bertemu senja. Sebab, senja mengingatkan pada hal sebentar. Ya, tiap manusia akan kembali pada haribaan-Nya.

Dewi Maghfi, penikmat sunyi