Saya sedang menumbuk cabai, bawang, kunyit. Sementara mamak mulai menata kayu-kayu kering di tungku masak. Pawon kalau kata orang jawa. Masyarakat pian hampir semua masak dengan kayu bakar. Juga menggunakan kompor minyak tanah, namun terbatas jatah minyaknya. Setiap kepala keluarga dapat jatah minyak tanah 8 liter dengan harga 30 ribu setiap bulannya. Sementara mamak-mamak biasanya ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Para mamak yang ke hutan untuk mencari kayu bakar atau daun-daunan untuk dimasak menggunakan tunjung. Tunjang yakni sebuah anyaman bambu yang berbentuk balok dengan digendong dan sobekan tali sarung yang diikatkan di kepala. Mamak ini, biasanya memakai baju dan celana lengan panjang. Kadang ada yang bersepatu juga. Oh iya, kepala para mamak ini diikat kain ala-ala orang melayu agar saat menggendong beban tidak berat dan sakit kepala.
Mamak-mamak berangkat sekitar pukul 7 pagi. Sementara pulang di jam yang tak tentu. Mamak tak pernah membiarkan tunjang kosong. Apapun yang ada dan bisa dimanfaatkan akan mamak ambil. Di desa kami, hampir tiap hari makan ikan laut segar. Namun, jangan harap jika saat musim angin kencang dan badai, bisa sampai satu bulan tak makan ikan. Sungguh, sayur dan telur di sini adalah makanan kemewahan bagi kami. Selain harganya yang bisa 3 kali lipat dari harga di Jawa, barangnya pun tak ada setiap hari. “Orang melayu malas untuk bercocok tanam, Mbak. Lebih suka membeli,” tutur bapak hostfam. Pemasok sayur terbesar dari daerah Batubi. Sementara batubi adalah daerah transmigran yang kebanyakan orang Jawa yang ada. Orang Jawa di sini terkenal ulet, tak mau diem dan terus memutar otak untuk bekerja. Itu pun yang bilang orang-orang sini. Sayur Batubi lalu dijual ke kota kecamatan Bunguran Barat dengan jarak tempuh naik pompong satu setengah jam. Sementara desaku dengan desa batubi mesti menempuh jalan darat sekitar 2 jam.
Di desa Pian Tengah ada nama kue khas daerah sini. Atau kue khas Natuna. Kue tersebut dibuat dari ikan tongkol. Para penduduk sini, kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Berangkat malam hari dengan menggunakan pompong untuk ke laut lepas, dan pulang dini hari. Pagi-pagi sekali pukul 05.30, mamak-mamak sudah melakukan tawar menawar untuk membeli hasil tangkapan nelayan. Ikan yang didapat lebih sering tongkol. Satu ikan tongkol dihargai dari 5-15 ribu. Mamak saya bisa membawa pulang 2-3 ekor ikan. Hamper tiap hari, kami makan ikan. Entah yang dikuah, diasap, disantan, disambal goreng caabe rawit, disambel goreng cabe kering, dicampur sayur-mayur keladi dan macamnya yang katanya sayur, digoreng kering, dan mungkin akan beraneka macam lagi selama setahun ke depan. Untuk membuat kernas, tongkol yang sudah direbus lalu dihancurkan halus. Tulang dan daging dipisahkan. Dan yang digunakan hanya dagingnya saja. Setelah daging siap, lalu dicampur dengan butiran sagu yang sudah dikukus. Campuran sagu dan daging tongkol halus dibuat bulatan-bulatan kecil. Setelah digoreng setengah kering. Makan kernas lebih nikmat dengan dicocol sambal pedas manis. Betapa makanan seharga seribu itu yang sekali gigit habis, melewati jalan panjang dari tangan mamak-mamak dan bapaknya untuk mencari ke laut lepas. Sungguh!
Lupa tanggal. Haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar