Jumat, 07 Juli 2017

Menjadi Masyarakat yang Berkelanjutan

Lin Yi Han dalam sebuah diskusi

Duka masih terasa dalam mengenang kisah Yuyun. Seorang anak yang usianya sekitar 13 tahun mendapat kekerasan seksual oleh 14 lelaki saat pulang ke rumah dari sekolah pada 2 April 2016. Tanah Bengkulu yang menjadi tempat kelahirannya viral di dunia maya. Tagar #NyalaUntukYuyun ramai diperbincangkan.

Bergeser dari Bengkulu, duka kembali datang ke sejumlah daerah hingga yang terbaru dari Tasikmalaya. Dua anak sekolah dasar ditemukan bersimpah darah di Sungai Ciloseh, Kecamatan Purbaratu. Satu diantaranya meninggal, lainnya masih hidup namun penuh dengan luka sayatan di Leher. Dugaan Polisi mereka mendapat kekerasan seksual sebelum dibunuh. 

Kekerasan Seksual terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Kasus yang muncul di permukaan ini tak seberapa dari yang tidak dikabarkan. Banyak alasan yang melatarbelakanginya diantara masyarakat masih berpikir ‘ini adalah aib keluarga’ atau ‘pelaku masih sanak saudara’. Dari survei kekerasan anak Indonesia kerjasama Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta sejumlah lembaga di 2014 mengatakan prevalemsi kekerasan seksual pada kelompok laki-laki dan perempuan usia 18-24 tahun tinggi. Jenis kekerasan seksual sebelum umur 18 tahun yang dialami anak laki-laki sebesar 6,36 persen dan anak perempuan 6,28 persen. Ini berarti dari 87 juta anak Indonesia ada 400.000 anak yang mendapat kekerasan seksual. 

Dari jumlah itu menunjukkan bahwa korban anak laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Berdasarkan data Kemensos, sebanyak 45 hingga 47 persen anak yang berhadapan dengan hukum terkait dengan kasus kekerasan seksual, dan terbanyak korbannya sejenis. Dari 10 korban, satu anak perempuan dan sembilan anak laki-laki. 1,1 juta atau 1 dari 13 anak pernah mengalaminya kekerasan fisik ketika berusia sebelum 18 tahun. Sedangkan pada anak perempuan diperkirakan 1,4 juta atau 1 dari 10 anak pernah mengalami kekerasan fisik, 700 ribu atau 1 dari 22 remaja pernah mengalami kekerasan emosional.

Sementara untuk kekerasan seksual, 800 ribu atau 1 dari 18 anak pernah mengalaminya ketika masih berusia sebelum 18 tahun. Tingginya jumlah kekerasan yang menimpa anak laki-laki dibanding perempuan karena pengawasan terhadap anak perempuan lebih besar sehingga lebih protektif. Sebanyak 90 persen pelaku kekerasan terhadap anak laki-laki tersebut pada awalnya adalah korban. 

Perlindungan Anak

Anak-anak memiliki hak seperti yang tertuang dalam UU no. 23 tahun 2002 yang diperbaharui dengan UU no.35 tahun 2014. Anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh berkembang optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Perlindungan anak sesuai pasal 1 berarti segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dari kekerasan dan diskriminasi. 

Hak-hak anak perlu dilindungi karena anak memiliki kesempatan yang luas untuk menggerakkan roda dunia. Anak mempunyai kesempatan untuk merubah dunia lebih baik. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk masa depan anak-anak? 

Ada sebuah cerita dari seorang penulis di Taiwan. Ia bernama Lin Yi Han. Seorang perempuan muda yang menulis novel yang laris dipasaran. Novelnya berjudul Fang Si-Chi’s First Love Paradise. Sebuah novel yang mengisahkan perempuan remaja yang mendapatkan pelecehan seksual oleh guru les di sekolahnya. Novel tersebut terbit di Februari 2017. Tak menunggu hitungan tahun, novel tersebut menjadi bacaan idaman berselang hari sejak penerbitannya. Namun, pengagum Lin Yi Han mesti berlapang dada, karena Fang Si-Chi’s First Love Paradise menjadi karya pertama dan terakhir. Penulis yang genius mengangkat tokoh dalam ceritanya meninggal di usia 26 tahun pada akhir April 2017. 

Belakangan ayah Lin memberi keterangan melalui Guerrilla Publishing bahwa peristiwa dalam novel Fang Si-Chi’s First Love Paradise adalah berdasar pengalaman Lin. Ia mendapat kekerasan seksual oleh gurunya 9 tahun yang lalu. Ini bermula ketika Lin menjadi siswa Chen Kuo-hsing. Chen mengakui peristiwa itu terjadi di Agustus 2009 saat Lin menjadi siswanya. Mereka mempunyai hubungan dekat. Akhir cerita kelam itu ketika orangtua Lin mengetahui hubungan mereka.  

Anak-anak tak akan pernah tahu kehendak mereka. Apalagi meyakini apa yang dilakukan baik atau benar juga kadang menyilaukan. Melalui peristiwa ini, langkah yang dapat dilakukan untuk melindungi anak yakni menjadi orang dewasa yang bijak. Entah sebagai guru, saudara, orang tua, orang lain yang tak saling mengenal, dan lainnya. Menjadi bijak berarti sebagai dewasa tidak menjerumuskan anak-anak, namun justru mesti membekali diri dengan ilmu yang banyak. 

Diri yang Mengasihi

Membentuk diri menjadi pribadi yang mengasihi adalah langkah awal untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan. Karena kumpulan dari pribadi-pribadi ini yang akan membentuk sebuah masyarakat. Juga, satu kebiasaan baik atau buruk yang berada di tengah masyarakat akan berefek pada sebuah penyebutan universal di masyarakat tersebut. Seperti halnya, ada kampung yang dapat julukan kampung peminta-minta. Padahal awalnya hanya satu dua orang saja yang melakukannya. Namun karena mereka berada di tengah masyarakat, tetangga mulai melirik aktivitas tersebut dan meniru. Juga walau tak satu desa menjadi peminta-minta mereka menjulukinya begitu. Sama seperti halnya kampung santri. Tak semua satu kampung itu adalah santri. Nah, pembentukan klaim universal ini dapat dijadikan contoh untuk membentuk masyarakat yang kasih mengasihi. Karena setiap perbuatan bisa menjadi panutan. 

Manusia yang berkelanjutan tentu berpikir jangka panjang dengan menganalisis setiap dampak baik buruk perbuatan yang dilakukan. Bahwa kemakmuran masa depan yakni ketika anak-anak aman, mendapat pendidikan yang layak, dan tumbuh sehat. Ini mengutip dari ilmu jawa “Aku ora dadi wong rak masalah, sing penting anakku apik akhlak rejekine” (Saya tidak menjadi manusia yang sukses tidak apa-apa, yang penting anak saya bagus budi dan rejekinya). Ini menjadi bukti semua yang dilakukan orang tua dan negara adalah untuk masa depan anak. Namun, sudah kah kita mengintegrasikan nilai-nilai itu dalam aktivitas?

Sebagai pengusaha, pemerintah, atau masyarakat biasa perlu memasukkan hak-hak anak dalam pekerjaan bahkan dalam tarikan nafasnya. Ini yang akan merampungkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak tidak berakhir hanya di meja Komisi Perlindungan Anak. Sebenarnya, menginvestasikan jumlah besar dalam pendidikan adalah langkah yang tepat. Karena pendidikan dapat memberikan pengalaman kedamaian, kesetaraan, inklusivitas, dan pengembangan lain yang berkelanjutan. 

Nah, bekal berpendidikan itu yang musti dibawa di segala lini dari mulai bisnis, pemerintahan, masyarakat sosial yang membawa nilai-nilai dan dirancang di setiap pekerjaan secara efektif. Di kepemerintahan kita butuh kebijakan yang ramah anak. Di dunia bisnis kita butuh memandang bahwa anak sebagai subjek bukan objek. Di masyarakat, kita perlu melibatkan anak pada setiap keputusan-keputusan penting, dll. 

Keuntungan dari pendidikan itu yang diketahui bisa berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, karena anak tumbuh sehat secara fisik, sosial, dan mental. Sebab, dimanapun kita berada kita bisa melakukan usaha-usaha yang mungkin dilakukan. Karena menyalakan lilin tetap berharga di kegelapan. 

Kita butuh menjadikan pemikiran, energi, dan perbuatan yang bisa dicontohkan pada anak-anak. Tiada lain adalah rasa kasih mengasihi. Jadi, anak-anak tidak akan mengalami kekecewaan yang panjang pada generasi-generasi yang mereka lihat. Apakah kita mesti menunggu untuk menuntaskan ini? Tidak. Masing-masing kita bisa melakukan. Sebab setiap kilatan cahaya kecil dapat menerangi gelap pekatnya ruangan. 
 Dewi Maghfi

Tidak ada komentar: