Kamis, 01 Juni 2017

Perempuan Berotak Kerikil-Kerikil Tajam


Menua


Pernah kamu merasa betul patah hati? 
Tapi kamu tak pernah merasakan cinta!

Maemun duduk di sudut kamar. Bersandar di almari jati tuanya. Jika ada waktu senggang, Maemun suka untuk sekadar melihat notifikasi media sosial sembari bersandar di almari itu. Air matanya menetes. Ia tak tahu persis musababnya apa. 

“Apa aku sedang patah hati?” selorohnya lirih. 
“Tapi aku tak pernah jatuh cinta. Dasar, otakmu ini berisi kerikil-kerikil tajam!” marahnya pada diri sendiri. 

Tepatnya lima tahun silam. Pertemuan Maemun dengan Bob. Tak pernah diduga tak pernah disangka, ingatan selama itu bergoyang-goyang kembali di otaknya. Bob seorang lelaki ibukota. Suatu ketika, ia menelponnya di jam 3 dini hari.

“Aku mencintaimu Mae. Sejak pertama kita jumpa aku merasa ada hal unik darimu,” tutur Bob di ujung telpon. 
“Aku tak tahu cinta. Mau jika kita berjalan apa adanya saja?” pungkasku. 

Sejak sebuah pertemuan lembaga. Aku dan Bob semakin sering berkomunikasi. Bob tepatnya yang selalu memberi kabar setelah jam 00.00. Aku tahu, ia baru ada waktu di jam-jam itu. Aku pun merasa antusias padanya karena dia pintar berwacana dan pandai memetik senar gitar. Selalu saja aku minta ia menyanyikan lagunya peterpan diulang-ulang. Ia bosan. Marah. Tapi aku tak peduli. Aku suka dengan lagu peterpan. Titik. 

Beberapa saat, Aku dan Bob tak lagi bersua via telepon. Aku tenggelam dalam kesibukan menyelesaikan tugas-tugas kampus dan pekerjaan sebagai penulis di sebuah majalah sekolah. Pikirku, aku ingin membincang banyak hal ketika mataku dan matanya saling bertatap. Bukan dalam kepalsuan maya namun realita. Akhirnya tiba saatnya kakiku menginjak di ibukota lagi. Bertemu Bob sudah tercatat dalam list agendaku. Saat aku bertemu dia aku merasa senang sekali. Tapi lidahku terlalu kaku untuk membicarakan hal-hal serius padanya seperti yang aku rencanakan. Bagaimana mungkin, aku menjanjikan sebuah hubungan, sementara aku harus pergi meninggalkan untuk ketidakpastian di tanah rantau yang menjadi pilihanku. Terlalu konyol jika aku membangun komitmen di ujung pertaruhan. Bahkan tentang diriku sendiri aku tak pernah tahu nasibnya di sana. Aku mengunci mulut. Merobohkan keinginan-keinginan egoisku untuk berpikir ‘jika kamu setia kamu bisa menunggu’. Tidak. Aku tentu tidak bisa untuk obral omongan. Karena aku menghargai setiap insan punya pilihan-pilihan logis untuk berbahagia. Sekalipun tidak bersamaku.  

Bob orang yang humoris. Yang agaknya pas dengan diriku yang kaku. Tapi, entah kenapa mulutku selalu pedas saat berucap padanya.
“Kamar kamu itu kotor sekali. Kenapa gak ditata yang rapi barang-barangmu itu!” Aku tidak bisa melihat barang-barang berada lalu lalang di yang bukan pada tempatnya. Sebenarnya aku bisa berkata lebih halus sedikit. Tapi, mulut rasanya spontan berkata seperti itu. 
“Perempuan seperti apa yang kamu cari? Menikahlah. Beri aku kejutan ketika aku sampai menjumpaimu lagi,” tuturku menantang dia. Padahal, tentu tidak benar aku menginginkan hal demikian. 
Pernyataan-pernyataan kecil itu yang sering membuat perdebatan. Tentu siapa lagi kalau bukan aku yang memulai. 

Keputusanku untuk pergi jauh dari orang-orang yang pernah aku kenal, sekalipun keluarga memang sudah bulat. Aku ingin hidup dengan orang-orang baru yang tanpa aku kenal satu pun di tempat yang tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa air bersih, kamar mandi seadanya, dan anak-anak kecil yang liar. Atas obrolan kecil itu, ternyata kamu tidak terlalu suka dengan keputusanku. Tapi ini sudah keputusan final. Tidak ada satu pun orang yang dapat menentangku. Kecuali Tuhan. 

Setiap hari aku benamkan diriku dalam kesibukan mengajar anak-anak. Pagi siang dan malam. Bertemu anak-anak sebenarnya menjadi ketakutanku di masa silam. Aku tidak suka dengan masa anak-anak. Bukannya menyenangkan justru sebaliknya. Tapi, aku belajar dari anak-anak yang tumbuh bersamaku. Walau setiap hari mereka menyita seluruh waktuku, mereka memberiku banyak pembelajaran. Seperti kesabaran, bersikap adil, welas asih, dan bercanda-canda kecil. Aku mulai tahu untuk apa aku harus mempertahankan hidupku dengan hal-hal yang bermanfaat. Karena hidup tak layak dijalani jika harus merutuki dan penuh kelukaan saja.

Sebelum kedatanganku di desa kecil nun jauh itu, aku ingin mengatakan kejujuran padamu. Bahwa aku akan benar yakin untuk berpulang padamu. Aku butuh kamu. Tapi, selalu saja pertemuan kita penuh perdebatan tak lain memang dariku yang selalu menyulut bara api. Tentang hal-hal inti yang tak tersampaikan karena hal remeh temeh. Dasar perempuan berotak kerikil-kerikil tajam! 

Aku mengatur pertemuan denganmu sekali lagi. Aku ingin melepas hal-hal tajam yang menjadi duri bagi otakku sendiri. 

“Kau itu berotak kerikil. Mana ada lelaki yang sanggup melapangkan dadanya untukmu!” tutur Bob penuh kemarahan dan caci maki. 

“Kau tahu, jika setiap perempuan bisa memilih akan seperti apa isi otaknya, aku akan memilih otak yang hanya berisi perempuan-perempuan anggun yang pandai memakai eye liner dan high heels. Sudah aku katakan padamu berulang-ulang, pergi saja dariku jika kau tak sanggup.”

“Aku tak sanggup,” tuturnya lirih dan tanpa perlawanan. 

“Kau tau Bob, perjalananku terlalu rumit untuk merumuskan aku dengan kamu. Aku diam-diam menjadi pelanggan setia tulisan-tulisanmu. Sebuah pojok cerita yang sederhana dan jujur. Kau diminta untuk menikah segera oleh Umimu, bukan? Dengan perempuan anggun yang berotak mutiara anak teman pengajian Umimu?”

“Aku sanggup mencari sendiri tanpa harus dijodohkan!”

“Iya. Aku dengar kamu sudah menemukan sosok senama denganku dan beruntungnya berotak mutiara pula. Itu yang membuat aku mundur perlahan darimu. Langkahmu tinggal sejengkal lagi. Sementara aku mesti melompat berpuluh kilometer. Apa aku bisa berlari melepas ketertinggalanku?”

“Kenapa kau tak pernah cerita?
Hidup layak dijalani, sesederhana minum teh


“Buat apa? Aku menghargai setiap alasan logis untuk memilih dengan siapa kau berhak bahagia. Juga alasan realistis Umimu. Menginginkan anak lelakinya menikah segera. Sementara, walaupun tekadku untuk bertahan dan memulai dari awal denganmu pernah ku ikrarkan dalam diri kini runtuh dihempas waktu. Pernah aku berpikir, apa kamu pilihan yang tepat buatku? Bagaimana jika aku mesti melanjutkan kepedihan lebih dalam bersamamu dari luka yang aku alami selama ini?”

“Kamu kenapa? Berkata lah jujur. Kamu memang perempuan berotak kerikil-kerikil tajam!” katamu. 

“Bisakah perempuan jatuh cinta pada lelaki lain dan menyerahkan seluruh hidupnya Bob, jika ia tak pernah merasakan jatuh cinta pada ayahnya? Apakah ada hubungan sebuah pasangan yang lebih damai tanpa kemarahan seorang ayah setiap hari?” 

Ia lalu memelukku erat. Sangat erat. Degup-degup jantungnya mengejar suara sesenggukanku. 
Keyakinanku untuk berpulang padamu begitu kuat. Tapi tak pernah sekalipun aku bercerita alasan-alasan perasaan macam ini padamu. Karena aku pun tak tahu tentang diriku. Aku ingin melihat penilaian jujurmu atas perempuan, tanpa tahu latar belakangnya ia tumbuh seperti apa. Tentu, perempuan berotak mutiara yang akan lebih bisa memabahagiakanmu. Karena ia tumbuh dalam balutan kemuliaan. Sementara apa yang bisa diandalkan dari perempuan berotak kerikil-kerikil tajam? Tergelincir sedikit, justru bisa mencelakakan. Aku ingin memberi pilihan-pilihan realistis dengan siapa kau mesti bahagia. 

“Aku ingin kau bercerita lagi. Teruskan Mae. Teruskan...” ia memaksaku. Mencengkeram kedua lenganku. 
Ayahku seorang yang ringan tangan dan ringan mulut. Apa yang dikatakannya seolah titah Tuhan. Tak ada satu pun yang bisa melarang kehendaknya. Sewaktu kecil, saat anak perempuannya melakukan kesalahan-kesalahan kecil, segala sapu lantai, kipas dari rotan, sendal, keset lantai pernah semua melesat ke tubuhku. Berkali-kali. Bahkan sampai tumbuh dewasa, ia tak tahu bagaimana bisa berbincang hal-hal yang inti pada ayahnya. Bagaimana bisa bersikap tegar menghadapi ayahnya.  

“Bisa kah perempuan seperti itu mencintai laki-laki lain, Bob?”

Mulut Bob mengatup. Aku yang masih dipelukannya masih sesenggukan dan terus tersedu. Ia semakin mencengkeram diriku. Aku susah napas. Ia lalu menutup bibirku dan membisiki telingaku “Kamu tahu, ada banyak alasan untuk melanjutkan hidup. Pilihlah dan ikuti nuranimu.” 

“Kau tahu Bob, walaupun aku tak pernah bisa jatuh cinta. Setidaknya aku merasa nyaman di sampingmu.” Sayang, perdebatan kecil terakhir ini tidak pernah terjadi. Dan tidak mau terjadi. Sebab membiarkan seseorang mengambil keputusan yang tepat tanpa terkontaminasi pada bayangan-bayangan tak mengenakkan jauh membuat lega. Aku akan melanjutkan hidup, seperti katamu. 

Cerpen untuk melepas ingatan-ingatan kecil yang tak tersampaikan mulut

Tidak ada komentar: