Siswa kelas V SD 004 Pian Tengah berjumlah 8 siswa. Mereka
Rifky, Ade, Puput, Erni, Hambali, Arif, Zar, dan Amil. 3 orang perempuan dan 5
orang laki-laki. Mereka saling membaur satu dengan yang lainnya. Saat bermain
atau pun di kelas, tidak ada yang saling udur-uduran peran laki-laki dan
perempuan. Zar misalnya ia akan dengan sigap memimpin doa. Puput juga akan siap
menghapus papan tulis. Sementara siswa laki-lakinya akan bekerjasama dengan
siswa lainnya setiap hari menyapu kelas.
Saat melakukan praktik pengalaman mengajar dulu di sebuah SD
di Purwakarta, saya hampir kebingungan saat ingin membagi kelompok entah
bermain atau eksperimen. Sebab antara siswa laki-laki dan perempuan tidak mau
dicampur. Begitu pula saat ingin mengganti posisi duduk dan tata letak kelas.
Mereka semacam membuat kubu. Namun, sekarang hal yang menarik yakni anak-anakku
sangat luwes.
Suatu ketika, saya melihat siswa saya murung. Tidak seperti
biasanya yang lincah. Namun, antar saya dan dia seolah ada tembok. Saat saya
menerangkan, ia sering bermain sendiri entah mencorat-coret buku, menjahili
teman, atau membaca buku. Intinya dia tidak memperhatikan saya. Tidak seperti
anak yang lain yang cerewet bertanya ini-itu. Saat saya mengingatkan untuk
kembali fokus pada pelajaran, dari raut mukanya justru semakin menunjukkan
ketidak senangannya. Kadang saya jengkel, namun saya simpan saja. Saya ingin
mengetahui diri masing-masing anak saya.
Jurnal harian. Ya, ini adalah semacam catatan harian yang
ditulis berdasar refleksi keseharian. Atau cerita-cerita konyol bahkan
menyedihkan. Dua tahun terakhir, saya sempatkan untuk menulis catatan harian
yang dalam satu buku. Walau tak setiap hari juga diisi. Kalau dulu, menulis di
sembarang lembaran. Namun, saya sadar butuh satu buku tersendiri untuk menjadi
teman. Dari situ, saya mencoba menawarkan pada anak-anak untuk membuat jurnal
harian. Mereka tertarik untuk membuatnya. “Iye Bu, saye nak suka. Tapi, kawan
lain nak boleh melihat. Cuma ibu seorang yang boleh,” kesepakatan anak-anak.
Saya tidak membebankan pada mereka buku baru. Atau macam
buku diari yang lawa (lawa : bagus). Mereka datang ke sekolah tepat waktu dan
membawa buku pelajaran saja sudah satu kesyukuran bagiku. Saya hanya menghimbau
untuk membawa satu buku yang masih ada lembar kosong. Bisa buku sisa di kelas
sebelumnya, atau yang tak terpakai. Walhasil, jurnal mereka jadi lawa. Mereka
sulap sampul buku yang sebelumnya penuh coretan dan lipat-lipatan menjadi
gambar yang menarik dilihat.
Dari situ saya melihat perasaan anak saya. Puput misalnya
menulis ingin sekali punya teman bercerita dan yang bisa diajak berpuisi
bersama. Sementara Zar, ia menuliskan sangat sayang keluarga. Ia ingin membuat
bangga orang tua. Ia juga sangat senang jika di sekolah bisa bermain-main. Sebab,
kalau di rumah tidak ada waktu untuk bermain.
Dewi Maghfi, 29 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar