Sabtu, 20 Februari 2016

Jurnalku Temanku




Siswa kelas V SD 004 Pian Tengah berjumlah 8 siswa. Mereka Rifky, Ade, Puput, Erni, Hambali, Arif, Zar, dan Amil. 3 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Mereka saling membaur satu dengan yang lainnya. Saat bermain atau pun di kelas, tidak ada yang saling udur-uduran peran laki-laki dan perempuan. Zar misalnya ia akan dengan sigap memimpin doa. Puput juga akan siap menghapus papan tulis. Sementara siswa laki-lakinya akan bekerjasama dengan siswa lainnya setiap hari menyapu kelas. 

Saat melakukan praktik pengalaman mengajar dulu di sebuah SD di Purwakarta, saya hampir kebingungan saat ingin membagi kelompok entah bermain atau eksperimen. Sebab antara siswa laki-laki dan perempuan tidak mau dicampur. Begitu pula saat ingin mengganti posisi duduk dan tata letak kelas. Mereka semacam membuat kubu. Namun, sekarang hal yang menarik yakni anak-anakku sangat luwes. 

Suatu ketika, saya melihat siswa saya murung. Tidak seperti biasanya yang lincah. Namun, antar saya dan dia seolah ada tembok. Saat saya menerangkan, ia sering bermain sendiri entah mencorat-coret buku, menjahili teman, atau membaca buku. Intinya dia tidak memperhatikan saya. Tidak seperti anak yang lain yang cerewet bertanya ini-itu. Saat saya mengingatkan untuk kembali fokus pada pelajaran, dari raut mukanya justru semakin menunjukkan ketidak senangannya. Kadang saya jengkel, namun saya simpan saja. Saya ingin mengetahui diri masing-masing anak saya. 

Jurnal harian. Ya, ini adalah semacam catatan harian yang ditulis berdasar refleksi keseharian. Atau cerita-cerita konyol bahkan menyedihkan. Dua tahun terakhir, saya sempatkan untuk menulis catatan harian yang dalam satu buku. Walau tak setiap hari juga diisi. Kalau dulu, menulis di sembarang lembaran. Namun, saya sadar butuh satu buku tersendiri untuk menjadi teman. Dari situ, saya mencoba menawarkan pada anak-anak untuk membuat jurnal harian. Mereka tertarik untuk membuatnya. “Iye Bu, saye nak suka. Tapi, kawan lain nak boleh melihat. Cuma ibu seorang yang boleh,” kesepakatan anak-anak. 

Saya tidak membebankan pada mereka buku baru. Atau macam buku diari yang lawa (lawa : bagus). Mereka datang ke sekolah tepat waktu dan membawa buku pelajaran saja sudah satu kesyukuran bagiku. Saya hanya menghimbau untuk membawa satu buku yang masih ada lembar kosong. Bisa buku sisa di kelas sebelumnya, atau yang tak terpakai. Walhasil, jurnal mereka jadi lawa. Mereka sulap sampul buku yang sebelumnya penuh coretan dan lipat-lipatan menjadi gambar yang menarik dilihat. 

Dari situ saya melihat perasaan anak saya. Puput misalnya menulis ingin sekali punya teman bercerita dan yang bisa diajak berpuisi bersama. Sementara Zar, ia menuliskan sangat sayang keluarga. Ia ingin membuat bangga orang tua. Ia juga sangat senang jika di sekolah bisa bermain-main. Sebab, kalau di rumah tidak ada waktu untuk bermain.

Dewi Maghfi, 29 Januari 2016

Tidak ada komentar: