Sabtu, 09 Februari 2013

Hendra Tetap Bertahan Dengan Tradisional

            Kemajuan jaman mengantarkan manusia pada pilihan yang cepat dan praktis. Seperti halnya jamu tradisional yang semakin ditinggalkan masyarakat. Namun, tidak untuk Hendra. Dia masih setia.

Jajaran toko di Jalan Megamendung nampak padat. Begitu pula dengan lalu lalang kendaran pribadi yang nyaris tak ada celah untuk pejalan kaki menyebrang. Toko-toko tersebut menawarkan berbagai ragam kebutuhan manusia. Dari mulai makanan, peralatan antik, bahan bangunan, obat-obatan kesehatan, dan peralatan rumah tangga. Tak ketinggalan juga salon pria wanita yang turut serta. Di situlah meraka beradu nasib.  

Saat menyusur jalan, ada sebuah toko berukuran 4 x 4 meter yang menarik perhatian saya. Dari dalam, tampak seorang laki-laki yang sedang meracik ramuan. Suhendra, telah berjualan jamu tradisional selama 28 tahun. Di tempat kecil tersebut dia mencoba untuk tetap mempertahankan tradisi bangsa. Ya, jamu-jamu tradisional. Racik meracik jamu bagi Hendra sudah dilakukannya berpuluh-puluh tahun. Jamu yang dia jual beragam. Dari jamu yang berbahan rempah-rempah, akar-akaran, daun-daunan, hingga jamu tradisional yang sudah diolah. Artinya, sudah berupa bubuk dan dikemas dengan plastik yang rapih. Sementara jamu yang dari akar-akaran sejenisnya masih berupa wujud aslinya. 

Saat melayani pembeli, Hendra tak lagi melihat label-label jamu. Hanya dengan melihat warna kemasan jamu, ia sudah tahu itu jamu apa dan khasiatnya untuk apa. Ada jamu untuk pegal linu, tolak angin, keputihan, haid, tambah darah, reumatik, flu tulang, sariawan, jantung, obat kuat, dll.

“Pak, jamu untuk pegal-pegal,” ujar laki-laki setengah baya yang berjalan menuju tempat duduk.  

“Siap,” kata Hendra dengan sedikit menaikkan celana pendeknya yang melorot

Dengan sigap Hendra mengambil jamu olahan yang tertata rapi di tembok. Cepat dia menuangkan ke dalam gelas kemudian ditambahkannya telur, madu, dan air hangat. 

Dia mengaku akan terus berjualan jamu selama dia masih hidup. Tak ada rasa ketakutan ketika suatu saat nanti jamu sudah tidak diminati masyarakat. “Semua manusia pasti mempunyai rejeki masing-masing. Begitu pula dengan saya yang berjualan jamu ini,” ujarnya dengan senyum sumringah. Jika obat-obatan kimia sekarang menjamur, tak menyurutkan langkah Hendra untuk menyudahi untuk berjualan jamu. 

Pak Hendra bukan tidak tahu terkait penarikan jamu kemasan tradisional di pasaran oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan yang tidak berlabel. Namun, dia berkeyakinan bahwa jamu-jamu yang dijualnya aman dan telah terdaftar di Departemen Kesehatan. Jadi, selama itu dia tetap lanjut untuk berjualan jamu. 

Bukan mudah untuk dia hingga bisa berjualan seperti yang sekarang ini. Membayar kontrakan yang setahun mencapai 15 juta. Sejak remaja dia memang sudah merantau kemana-mana. Tahun 80-an dia merantau ke Jakarta dan bekerja menjadi kernet bus. Dua tahun berikutnya dia beralih untuk berjualan sekoteng. Kemudian tahun 1984 dia menjadi karyawan di sebuah warung yang menjual jamu tradisional. Kala itu gaji dia di toko jamu 60 ribu sebulan. 

Pengalaman dia menjadi karyawan di warung jamu itulah yang memberanikan diri untuk mencoba berjualan jamu sendiri. Tak bisa seperti di warung yang sekarang ini ditempati memang. Sebab, kala itu dia berjualan dengan cara keliling dengan grobak kecil yang didorong. 

Bapak dua orang anak ini mempunyai cita-cita untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Ya, putri sulungnya telah lulus dari Stikes (Sekolah tinggi ilmu kesehatan) di Cirebon Oktober kemarin. “Saya sangat senang, jika putri pertamaku kini telah bekerja,” ucapnya dengan mondar-mandir. Kami mengobrol dengan kondisi Hendra harus juga menyelesaikan tugasnya. Mencuci gelas-gelas dan mengelap meja.
           


Tidak ada komentar: