Kemajuan jaman mengantarkan manusia
pada pilihan yang cepat dan praktis. Seperti halnya jamu tradisional yang
semakin ditinggalkan masyarakat. Namun, tidak untuk Hendra. Dia masih setia.
Jajaran
toko di Jalan Megamendung nampak padat. Begitu pula dengan lalu lalang kendaran
pribadi yang nyaris tak ada celah untuk pejalan kaki menyebrang. Toko-toko
tersebut menawarkan berbagai ragam kebutuhan manusia. Dari mulai makanan,
peralatan antik, bahan bangunan, obat-obatan kesehatan, dan peralatan rumah
tangga. Tak ketinggalan juga salon pria wanita yang turut serta. Di situlah
meraka beradu nasib.
Saat
menyusur jalan, ada sebuah toko berukuran 4 x 4 meter yang menarik perhatian
saya. Dari dalam, tampak seorang laki-laki yang sedang meracik ramuan. Suhendra,
telah berjualan jamu tradisional selama 28 tahun. Di tempat kecil tersebut dia mencoba
untuk tetap mempertahankan tradisi bangsa. Ya, jamu-jamu tradisional. Racik
meracik jamu bagi Hendra sudah dilakukannya berpuluh-puluh tahun. Jamu yang dia
jual beragam. Dari jamu yang berbahan rempah-rempah, akar-akaran, daun-daunan,
hingga jamu tradisional yang sudah diolah. Artinya, sudah berupa bubuk dan
dikemas dengan plastik yang rapih. Sementara jamu yang dari akar-akaran
sejenisnya masih berupa wujud aslinya.
Saat
melayani pembeli, Hendra tak lagi melihat label-label jamu. Hanya dengan
melihat warna kemasan jamu, ia sudah tahu itu jamu apa dan khasiatnya untuk
apa. Ada jamu untuk pegal linu, tolak angin, keputihan, haid, tambah darah,
reumatik, flu tulang, sariawan, jantung, obat kuat, dll.
“Pak,
jamu untuk pegal-pegal,” ujar laki-laki setengah baya yang berjalan menuju
tempat duduk.
“Siap,”
kata Hendra dengan sedikit menaikkan celana pendeknya yang melorot.
Dengan
sigap Hendra mengambil jamu olahan yang tertata rapi di tembok. Cepat dia
menuangkan ke dalam gelas kemudian ditambahkannya telur, madu, dan air hangat.
Dia
mengaku akan terus berjualan jamu selama dia masih hidup. Tak ada rasa
ketakutan ketika suatu saat nanti jamu sudah tidak diminati masyarakat. “Semua
manusia pasti mempunyai rejeki masing-masing. Begitu pula dengan saya yang
berjualan jamu ini,” ujarnya dengan senyum sumringah. Jika obat-obatan kimia
sekarang menjamur, tak menyurutkan langkah Hendra untuk menyudahi untuk
berjualan jamu.
Pak
Hendra bukan tidak tahu terkait penarikan jamu kemasan tradisional di pasaran
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan yang tidak berlabel. Namun, dia
berkeyakinan bahwa jamu-jamu yang dijualnya aman dan telah terdaftar di
Departemen Kesehatan. Jadi, selama itu dia tetap lanjut untuk berjualan jamu.
Bukan
mudah untuk dia hingga bisa berjualan seperti yang sekarang ini. Membayar
kontrakan yang setahun mencapai 15 juta. Sejak remaja dia memang sudah merantau
kemana-mana. Tahun 80-an dia merantau ke Jakarta dan bekerja menjadi kernet
bus. Dua tahun berikutnya dia beralih untuk berjualan sekoteng. Kemudian tahun
1984 dia menjadi karyawan di sebuah warung yang menjual jamu tradisional. Kala
itu gaji dia di toko jamu 60 ribu sebulan.
Pengalaman
dia menjadi karyawan di warung jamu itulah yang memberanikan diri untuk mencoba
berjualan jamu sendiri. Tak bisa seperti di warung yang sekarang ini ditempati
memang. Sebab, kala itu dia berjualan dengan cara keliling dengan grobak kecil
yang didorong.
Bapak
dua orang anak ini mempunyai cita-cita untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga
perguruan tinggi. Ya, putri sulungnya telah lulus dari Stikes (Sekolah tinggi
ilmu kesehatan) di Cirebon Oktober kemarin. “Saya sangat senang, jika putri
pertamaku kini telah bekerja,” ucapnya dengan mondar-mandir. Kami mengobrol
dengan kondisi Hendra harus juga menyelesaikan tugasnya. Mencuci gelas-gelas
dan mengelap meja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar