Rabu, 13 Mei 2015

Jilbab


Perkenalan dengan jilbab, kala aku sekolah sore. Sekolah sore di tempatku yakni belajar ilmu-ilmu agama seperti fiqih, nahwu, saraf, akidah akhlak, tarikh, tafsir quran, tauhid, dll. Dari situ aku memahami ada pakaian maen dan pakaian sekolah termasuk di dalamnya ‘busana muslim’. Mengenakan pakaian panjang hingga menutupi ujung jari, kaki, dan penutup kepala (jilbab). Ku kira itu hanya sebuah seragam saja, cuma kami dibebaskan dengan berbagai motif dan warna. Berlanjut hingga aku sekolah di madrasah tsanawiyah dan ‘weling’ dari guru untuk tidak melepas jilbab kala melanjutkan di sekolah menengah. Sampai situ, bagiku menggunakan busana macam itu adalah hanya seragam. Toh, di rumah aku mengenakan atau tidak tak masalah.

Lain halnya jika pakaian yang aku gunakan atau kakak misalnya ketat, ada yang marah tak selesai-selesai berhari-hari, bertahun-tahun, dan selamanya. Untung, aku tidak suka pakaian yang ketat-ketat, kecuali kalau tubuhku kian membesar dan belum ada ganti yang baru. Pakai aja. Aku lebih suka yang gombrong-gombrong. Sebab, jika sumuk ada banyak jendela yang memberi kesejukan. Semriwing. He-he

Juga bagiku dulu, memakai rok adalah satu langkah membuat ribet diri sendiri. Harus cinceng-cinceng, jalannya tak bisa cepat, aku merasa dibatasi dalam berjalan. Aku tak pernah benar-benar punya rok selain yang ku anggap seragam. Dulu.

Entah mengapa sebelum kuliah, diriku merasa terkotak-kotak. Dari hal terkecil misal pakaian, aku harus memilah-milih mana pakaian main, sekolah, ngaji, pergi jauh, dan rekreasi. Apalagi, masalah waktu, jam sekian hingga jam sekian bahkan dalam seminggu mau ngapain aja detail di luar kepala. Ceroboh sedikit saja, bisa jadi aku akan berangkat sekolah dengan baju kotor atau tak setrikaan. Sedari kelas 4 sd aku mencuci dan menyetrika baju sendiri.

Pagi tadi ada yang bercerita padaku tentang jilbab. Ia dipanggil untuk tes wawancara di sebuah taman kanak-kanak. Ia tak memakai jilbab. Cerita berlanjut ketika ia ditanya, “Jika diterima, apakah anda sanggup untuk menggunakan jilbab?” ia menjawab sanggup. Namun, apa yang ada dalam rumusannya berbeda dengan direktur TK. Pewawancara melanjutkan pertanyaan, “Yang saya maksud menggunakan jilbab adalah menggunakannya dalam sehari-hari, tidak hanya saat mengajar.” Wouww… ia lantas kaget. “Saya akan berdiskusi dulu dengan keluarga,” jawabnya.

Ya, menyoal menggunakan jilbab atau tidak adalah persoalan pendek sekaligus panjang. Bagiku misalnya, memakai jilbab adalah persoalan pendek. Sedari kecil, aku sekolah di sekolah yang aturannya memang seperti itu, mau tidak mau, aku harus menggunakan jilbab. Bukan hanya hitungan hari, namun tahun berganti tahun. Kebiasaan macam itu tentu tak masalah bagiku, jika sampai hari ini aku mengenakan jilbab jika sedang di luar. Lain halnya dengan temanku tadi.

Aku yakin, hari ini ia sedang menghadapi persoalan panjang dan tak sekadar menyanggupi dengan jawaban ‘iya/tidak’. Ia butuh dialog dua arah dengan keluarga, dan bertemu tatap muka agar ia bisa merasakan bagaimana gesture lawan bicaranya sekaligus kedalaman matanya. Makanya, konyol sekali jika ada pertanyaan dengan jawaban hanya ‘iya/tidak’. Mungkin bisa ditolerir untuk pertanyaan-pertanyaan lugas, lalu bagaimana dengan pertanyaan perjalanan?  

Ia tumbuh dalam keluarga dengan 2 prinsip. Bapaknya penganut islam dan ibuknya Kristen. Sedari kecil, ia diarahkan oleh bapaknya untuk memeluk islam. Diminta untuk ke masjid, ngaji, salat, dll. Bahkan, jika ia ingin ke gereja menemani ibuknya di hari minggu, telapak tangan ayahnya bisa melayang ke tubuhnya. Ia mengaku, betapa miris melihat ibunya yang saban minggu pagi berangkat ke gereja sendiri tak ada keluarga yang menemani. Atau di luar minggu jika ibunya sedang dirundung kesedihan, ia akan lari ke gereja. Sendiri. Beda dengan bapaknya, setiap kali ke masjid, kedua anaknya mesti ikut.
Betapa pun, di dalam satu atap keluarga, pemimpin rumah mempunyai kecenderungan menguasai diantara lainnya, ayah. Seringkali ayah merasa dirinya adalah pemimpin dan mesti harus dituruti segala sabda-sabdanya. Ia jarang mengakomodir seperti apa suara-suara anggota yang lain. Sabda ayah, kadang menjadi takdir keluarga. Mau tida mau harus diterima dengan legowo. Nah, hal macam itu tanpa disadari dialami berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar entah ibu atau anak-anak mereka. Entah apa yang ada di pikiran ayah? Sehingga ia mengkultuskan dirinya bak nabi. 

Ada beberapa kemungkinan yang mendasarinya, 1. Ia memang tidak mempunyai pengetahuan untuk menahkodai kapal dan tidak ingin mencari tahu. Sehingga menggunakan cara ‘biasanya’. Padahal hal tersebut biasa untuk siapa dan apakah masih relevan dengan saat ini? 2. Ia kepalang malu, jika mesti tunduk pada perempuan (suami-suami takut istri). Padahal makna tunduk itu pun atas konstruksi kesalahkaprahan dalam masyarakat. Tunduk diartikan bertekuk lutut. Mestinya tunduk diartikan sebagai alat kontrol. 3. Ia mempunyai pengetahuan untuk menahkodai kapal, namun kondisi terlalu kompleks dari rumusannya. Ia hanya butuh untuk berikhtiar lebih lama sedikit. Namun, biasanya banyak yang menyerah.

Betapa pun, di dalam rumah suara perempuan adalah suara kesekian yang jarang didengarkan. Apalagi kalau membuat sabda, kualat katanya. Perempuan seringkali berusaha menjaga kondisi agar tak oleng. Walau ia mesti nampak manut, ngikut, diam, dan baik-baik saja. Padahal, jika bisa ia sudah berteriak sekencang-kencangnya. Namun, perempuan adalah makhluk yang sangat realistis. Ia sanggup untuk memendam kedalaman-kedalaman rasa yang koyak, demi sebuah keyakinan. Dan bapak adalah kaum perasa tingkat dewa. Ia lebih mudah tersinggung dan melibatkan rasa untuk mengadili hal-hal yang salah dan benar. Ah, bapak, belajar lah untuk membaca semesta dan melakukannya dalam laku perjalanan diri adalah jauh lebih baik dari sekadar mempertaruhkan kemaluan.

Betapa pun, hal-hal yang dilakukan berawal dari mindset. Hal pertama yang tidak bisa diganggugugat adalah sama-sama menyadari bahwa merumuskan persepsi (mindset) antar bapak-ibu adalah penting. Kemudian hal-hal yang harus dihadapi, hadapilah. Di sana akan tercipta saling menghargai satu sama lain. Bahwa pasangan tak lain adalah sama seperti diri yakni manusia. Laku manusia adalah laku panjang untuk menemu dirinya dengan Gustinya. Bukan pembatasan atas nama pasangan. Dan lain-lainnya mesti harus dilepaskan dengan bantuan pasangan tersebut. Jika begitu, kepemilikan atas diri bisa diminimalisir. Bapak-ibu adalah dua manusia yang mengalami perjalanan panjang untuk sama-sama memaknai ciptaan Tuhan, Semesta. Keduanya, butuh untuk saling menguatkan dan memberi pelukan satu sama lain. Juga, untuk membantu mewujudkan keyakinan-keyakinan (beda dengan agama!) personal. Aku paham, bahwa cara untuk bertahan hidup di dunia ini adalah dengan menguasai diri bukan orang lain, pasangan, anak, keluarga, teman, dll.

Dalam ruang privat, jilbab adalah perjalanan panjang. Perjalanan kultur keluarga yang akan dibawa sejak bayek hingga matek, perjalanan penemuan diri, dan perjalanan spiritualitas. Tidak semata, jilbab syar’i, jilboobs, muslimah, non muslimah, baik, tidak baik. Namun, tidak lantas menyepelekan untuk tidak ingin mencari pemaknaan. Beda dalam ruang publik, menyoal fenomena jilbab sebagai trend setter, mode, style dan sengaja digerakkan oleh kepentingan golongan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya mesti dibuka diskursus panjang untuk melucutinya, bukan soal tabu!

Aku, perempuan, carilah pemaknaan dalam laku diri. Tegakkan diri sebagai manusia seutuhnya di hadapan Gusti (walau akan dalam proses terus mencari hingga meninggal) bukan sekadar jenis kelamin. Rengkuhlah setiap pasangan yang dihadirkan Gusti. Terus teruslah berikhtiar tiada henti. Memang kadang lelah, capek, namun begitullah seninya hidup. Melambaikan tangan sejenak jika tak kuat, kadang  juga oleng, terjatuh dalam kedalaman yang tiada terukur, begitu tak masalah. Bahwa masih ada satu harapan yakni ‘keyakinan’. Rumuskan dalam perjalanan laku diri masing-masing. Akhirnya selamat menempuh perjalanan baru, laki dan puan.
Dewi Maghfi | 13/5/15