Jumat, 07 Juli 2017

Saya Adalah Solusi Pendidikan Indonesia

Artikel pilihan memperingati 95 th PT. Kanisius


Abstrak


Pernahkah anda melihat foto Ir. Soekarno yang sedang mengajar anak-anak untuk mengenal A-I-U-E-O? Foto itu menjadi satu semangat bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mempunyai keinginan kuat dalam belajar. Jika sekarang banyak sekali program Camat mengajar, Bupati mengajar, walikota mengajar, bahkan sudah puluhan tahun lalu, Soekarno presiden pertama kita sudah melakukannya.

Mempunyai pengalaman mengajar di daerah terdepan Indonesia, meyakinkan saya bahwa pendidikan Indonesia sedang lesu. Sementara terus bermunculan penggerak-penggerak pendidikan dari berbagai kalangan. Siswa di sekolah saya datang ke sekolah dengan begitu semangat. Saat bel bunyi pulang pun semangat mereka semakin bertambah seratus persen.

Ada satu tujuan akhir yang sepertinya kian terlupakan dari pendidikan ini, ya siswa. Siswa sebagai anak-anak yang menjadi generasi emas terlupakan dari sistem pendidikan. Guru sibuk menyelesaikan syarat administratif dan syarat pengajuan kepangkatan.

Tugas pendidikan bukan tugas satu entitas. Kerja pendidikan adalah kerja komprehenshif. Dari hulu hingga ke hilir. Dari diri kita memulai hingga ke diri setiap orang. Pendidikan Indonesia adalah soal tujuan akhir dari pendidikan yakni cerdasnya anak-anak Indonesia, bukan kita untuk menjadi cerdas lantas menjadi kaya, bukan?


Pernahkah anda melihat foto Ir. Soekarno yang sedang mengajar anak-anak untuk mengenal A-I-U-E-O? Foto itu menjadi satu semangat bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mempunyai keinginan kuat dalam belajar. Jika sekarang banyak sekali program Camat mengajar, Bupati mengajar, walikota mengajar, bahkan sudah puluhan tahun lalu, Soekarno presiden pertama kita sudah melakukannya. 

Mempunyai pengalaman mengajar di daerah terdepan Indonesia, meyakinkan saya bahwa pendidikan Indonesia sedang lesu. Sementara terus bermunculan penggerak-penggerak pendidikan dari berbagai kalangan. Siswa di sekolah saya datang ke sekolah dengan begitu semangat. Saat bel bunyi pulang pun semangat mereka semakin bertambah seratus persen. Kali itu saya mengajar kelas enam pelajaran matematika. Kuis perkalian untuk membuka pelajaran pun kami lakukan. Saat saya mengajukan pertanyaan “6X7 sama dengan……” hampir sebagian besar siswa tidak bisa menjawab. Ketika saya mendekati mereka, rerata mereka menghitung dengan membuat angka 1 sebanyak enam kali mendatar sampai 7 kali menurun. 

Melihat itu, saya dihadapkan pada percabangan jalan. Saya harus mengejar target menghabiskan materi dalam minimal satu standar kompetensi sesuai kalender waktu yang telah ditentukan atau saya harus berbelok untuk mengajarkan konsep hitung-hitungan dari tingkat dasar. Sangat dasar, perjumlahan, pembagian, dan perkalian. Semangat mereka untuk hadir di sekolah sangat tinggi, lalu ada apa?

Mereka datang ke sekolah tidak lain hanya sekadar datang. Karena sekolah adalah penting untuk diramaikan. Betul, sekolah memang tidak pernah sepi. Walau jumlah muridnya tidak banyak, sekolah selalu ramai. Bahkan di siang hari saat sekolah tidak ada proses pembelajarn efektif. Sekolah menjadi taman bermain bagi anak. Bukan kah justru menyenangkan seperti konsep Ki Hajar Dewantara bahwa sekolah adalah taman bermain? Benar. Namun, proses pembelajaran di sekolah tidak berjalan seimbang. Porsi bermain yang mestinya bisa selaras dengan belajar tidak sepadan. Pembagian waktu antara jam efektif belajar dan istirahat pun sudah tak bersekat. Anak-anak menghambur ke mana saja, sementara guru sibuk di depan meja atau sekadar canda. Sementara orangtua cuek saja. 

Ada satu tujuan akhir yang sepertinya kian terlupakan dari pendidikan ini, ya siswa. Siswa sebagai anak-anak yang menjadi generasi emas terlupakan dari sistem pendidikan. Guru sibuk menyelesaikan syarat administratif dan syarat pengajuan kepangkatan. Guru-guru bisa melembur berbulan-bulan untuk mempersiapkan akreditasi sekolah. Guru-guru bisa tidak tidur untuk menyiapkan administrasi. Bahkan Kepala sekolah tiba-tiba bisa merangkap menjadi juragan material bangunan ketika dana DAK turun. Sekolah juga bisa menjadi pasar dadakan untuk menyediakan peralatan sekolah dengan merk tulisan sekolahnya masing-masing. Dari mulai kaos kaki hingga ikat rambut. Lalu sebenarnya untuk siapakah itu semua? Maukah guru melembur untuk satu malam saja secara berkala demi menyiapkan media pembelajaran untuk anak? 

Inilah yang menjadikan sirkel pendidikan terputus. Orangtua tidak memperhatikan pendidikan anak. Anak datang ke sekolah hanya untuk bermain. Guru sibuk mengurus kepangkatan. Kepala sekolah sibuk menyiapkan administrasi jika sewaktu-waktu badan audit datang. Pengawas masih nyaman memantau dari depan meja. Dinas sibuk merumuskan proyek agar anggaran setahun tidak lebih dan tidak kurang. Hingga Menteri sibuk membuat kebijakan-kebijakan baru yang dinilai berbeda denan Menteri sebelumnya. 

Entitas Siswa sebagai Tujun Utama Pembelajaran

Membaca itu semua perlu mengetahui lebih lanjut soal entitas siswa. Ruang lingkup pembahasan tentang entitas siswa yakni dari aspek perkembangan kognitif dan bahasa, perkembangan pribadi, moral, dan sosial, serta perbedaan pebelajar dan kebutuhan belajar. Menurut Jean Piaget dan Lev Vygosky diulas oleh Woolfolk (2010) dasar perkembangan kognitif diidentifikasi menjadi empat faktor kematangan. Pertama, faktor kematangan biologis meliputi pemenuhan gizi dan perawatan kesehatan untuk memastikan tercapainya kematangan biologis. Kedua, faktor aktivitas yaitu kegiatan pembelajaran yang berasal dari lingkungan. Ketiga, faktor pengalaman sosial terjadi dalam kegiatan interaksi dengan orang lain dan suatu budaya. Sementara factor sense of equilibrium dimaknai sebagai upaya untuk selalu berada pada zona nyaman atau keadaan yang seimbang untuk menyelesaikan masalah. 

Aspek perkembangan pribadi, moral, dan sosial dimaksudkan untuk memperkaya pemahaman guru dalam menyelesaikan masalah siswa sekaligus membantu siswa mengembangkan ketrampilan sosial mereka. Dalam gambaran demografi dianggap mempengaruhi perkembangan kualitas pribadi siswa dengan mengutip teori bioekologis dan bioekosistem Bronfenbrenner menurut Woolfolk (2010). 

Siswa sebagai individu dengan segala entitasnya hidup dan berinteraksi dalam konteks sosial sebagai cerminan sebuah mikrosistem. Dalam mikrosistem terdapat unsur keluarga, teman sebaya, dan guru yang saling berinteraksi dalam hubungan sosial sehingga terjadi saling pengaruh yang bersifat timbal balik. Setiap komponen mikrosistem akan berinteraksi dalam pola mesosistem dan melakat pada sebuah makrosistem. Dalam pendalaman perkembangan pribadi, moral, dan sosial dilatarbelakangi oleh keluarga, pola asuh, pola teman sebaya, serta kepedulian dan obyektivitas guru dalam penilaian dan advokasi terhadap siswa. 

Aspek perbedaan pebelajar dan kebutuhan belajar didasarkan pada perspektif umum yang mencakup intelegensi. Intelegensi atau kecerdasan merupakan salah satu perbedaan khas yang dimiliki setiap siswa. Intelegensi diartikan sebagai kemampuan atau berbagai kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan dunia. Perkembangan baru yang banyak membahas kecerdasan yakni multiple intelligence berupa kecerdasan logika-matematika, linguistik, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal dan natural.  

Dari entitas siswa tersebut, siswa memang menjadi pusat pembelajaran di sekolah, di rumah, dan lingkungan luas. Betapa menariknya jika anak-anak dari investasi Negara ini ke depan bisa benar-benar mewujudkan cita-cita bangsa. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia? Merumuskan pendidikan Negara mestinya menjadi tugas mudah. Diri kita masing-masing bisa melakukannya. Lakukan saja dari langkah terkecil, bahwa anak-anak kita benar-benar diperhatikan sejak dari dalam rumah sendiri. Anak-anak kita menjadi tujuan dari sebuah pernikahan keluarga.  Bayangkan jika kamu sebagai orangtua, kamu sibuk bekerja dan sebagainya sehingga tidak memperhatikan anak anda, padahal ia adalah tujuan rumah tangga anda? 

Anak-anak yang berhambur di jalanan dan anak-anak yang butuh kasih sayang juga anak-anak kita. Jika kita memberi senyum saja pada mereka dan membantu lembaga-lembaga yang konsen menanganinya, kamu adalah penggerak pendidikan. Walau kamu bukan guru dan hanya masyarakat sipil biasa. Terlebih jika anda guru. Datang ke sekolah lebih awal dan menyalami siswa, mengajar dengan media pembelajaran dan hati gembira itu adalah solusi pendidikan. Dalam lingkungan sekitar rumah, banyak anak-anak yang minat membacanya tinggi atau anak-anak yang tidak tertarik membaca sekalipun. Sediakan sudut ruangan diantara ruang-ruang besar lainnya berupa buku-buku. Ajak mereka hadir ke rumah dan sekadar membaca-baca.  Tahukah anda mukjizat dari membaca? 

Anak-anak bisa berlagak seperti dokter beneran menjelaskan sistem pernapasan. Anak-anak bisa berlagak layaknya astronot dengan membaca buku tentang bintang-bintang. Keren bukan? Atau kamu yang sedang dilimpahi rejeki yang cukup, sisihkan sedikit rejeki itu untuk mendatangkan pemuda-pemuda pilihan hadir di daerah-daerah yang membutuhkan pemercepat mutu pendidikan. Di daerah-daerah terdepan butuh sosok yang mempunyai grassrootunderstand sehingga mampu memberi warna dan tentunya kerja bersama. Atau bahkan kamu bisa hadir sendiri untuk berinteraksi langsung. 

Tugas pendidikan bukan tugas satu entitas. Kerja pendidikan adalah kerja komprehenshif. Dari hulu hingga ke hilir. Dari diri kita memulai hingga ke diri setiap orang. Pendidikan Indonesia adalah soal tujuan akhir dari pendidikan yakni cerdasnya anak-anak Indonesia, bukan kita untuk menjadi cerdas lantas menjadi kaya. Kalau ditanya soal solusi pendidikan, dengan bangga mestinya setiap diri kita masyarakat Indonesia menjawab, ‘Saya adalah solusi pendidikan Indonesia’. 
(Dewi Maghfiroh-Artikel pilihan memperingati 95 th Penerbit Kanisius yang dibukukan bersama penulis lainnya)

Tidak ada komentar: