Senin, 10 Maret 2014

Tuhan Ada Dalam Tarikan Nafas



Beriman bukan hanya yakin. Bukan hanya melaksanakan. Tapi, keduanya.
 
Saya seorang muslim. Dari kecil saya diajarkan orang tua tentang sahadat, rukun iman, rukun islam, dan ‘sekolah sore’. Barang, agama yang saya miliki sekarang adalah agama keturunan. Garis keturunan keluarga saya muslim, bahkan Nahdhatul Ulama semua. Orang tua mengajarkan tentang kewajiban yang harus dipenuhi muslim. Sholat, ngaji, membaca doa-doa, dsb. 



Dari awal saya mengetahui kalau agama saya islam dari orang tua. Karena sejak kecil saya selalu diajak ke masjid. Jadi, saya simpulkan sendiri kalau agama saya islam. Karena islam identik dengan masjid. Dan pada akta kelahiran saya yang dibuat ketika bayek, orang tua yang menentukan agama.

Saya masih ingat betul guru ‘sekolah sore’ pernah mengatakan muslim itu wajib tahu ‘aqoid seket. Yakni, 20 sifat wajib Allah, 20 sifat mustahil Allah, 4 sifat wajib Rasul, 4 sifat mustahil Rasul, 1 sifat jaiz Allah & Rasul. Saya harus menghafal sifat-sifat beserta maknanya. Ditambah pula guru selalu mengibaratkan sifat manusia di dunia dengan kenikmatan surga dan kemurkaan neraka.

Tak sekadar menjalankan
Amalan religiusitas saya  rendah, barangkali. Dulu ketika orang mengatakan hal tersebut saya cukup diam. Saya mengakui bahwa atribut-atribut yang semacam itu tidak saya lakukan sekencang teman lain. Barang itu yang dijadikan perbandingan. Namun, sekarang saya tak lagi menghiraukan hal tersebut. Saya ingin ‘mencari’ kebenaran. Walau kebenaran itu sesuatu yang tidak benar. Lebih tepatnya merefleksi apa yang sudah saya terima untuk membuat pertahanan iman. 

Menyoal tentang kewajiban dalam agama harusnya dapat dimaknai setiap orang yang menjalankan. Tak sekadar menjalankan, namun mengilhami. Setiap yang dikatakan wajib sudah semestinya manusia mulai kepo untuk mengulasnya. Bukan serta merta hanya menerima.  

Kala itu, saya sempat dihajar Bapak karena membangkang untuk melaksanakan sholat. Sebab mementingkan bermain. Dalam fikih jelas tertulis “hajarlah anak kamu yang sudah baligh sebab dia tak mau melaksanakan kewajiban, sholat”. Atas dasar tersebut, barang Bapak berani menghajarku. 

Dalam setiap agama pasti mempunyai kepatuhan yang harus dijalankan dan larangan yang harus dihindari. Namun, satu hal bahwa beragama bukan sekadar menjalankan atribut atribut agama. Tapi, meyakini dan tahu betul tentang apa yang dilakukan. Ada suatu pertanyaan “saya berusaha menjalankan apa yang diperintah dan menghindari apa yang dilarang Tuhan, tetapi saya tidak tahu maknanya?” saya pikir keimanan seseorang itu menjelajah, tidak naik turun atau lemah atau kuat. Begini, orang yang sedang melakukan hal yang dilarang agama, mencuri misalnya itu bukan karena imannya lemah. Tetapi, naluri jahat manusia yang lebih dominan. Pencuri tersebut bisa saja yakin dengan keberadaan Tuhan-Nya dan faham dengan apa yang dilarang, tapi ia harus mencuri karena suatu keadaan. Dan perbuatan mencuri memang tidak dibenarkan. Orang perlu dengan keyakinan besar bahwa ketika melakukan hal yang dapat merugikan diri atau orang lain adalah sesuatu yang tidak tepat dan dholim namanya. Sehingga, sikap semacam itu muncul dalam diri. Bukan karena paksaan. Saya pikir untuk menyocokkan pikiran dan qalbu, seseorang perlu jalan panjang. Dengan pikiran saja seseorang akan cacat dalam hidup. Sebaliknya, dengan qalbu saja seseorang akan mengalami kemunduran. Nah, hal-hal semacam itu adalah iman yang menjelajah. Yakin beriman bukan semata ada dalam hati, namun direalisasikan dalam bentuk tindakan.

Keimanan itu bukan untuk konsumsi publik. Tapi, peneguhan dalam diri setiap manusia tentang Tuhan. Otomatis jika seseorang sudah meyakini Tuhan, ia adalah manusia yang kecil, dan apa yang diperbuat di dunia pasti akan kembali ke diri. Sehingga ia tak lagi takabur. Bahwa simbol-simbol keduniawian itu sesaat. Toh, manusia akan mati. 

Tuhan Ada Dalam Tarikan Nafas. Manusia hidup pasti bernafas. Bernafas merupakan suatu kebebasan yang dianugerahkan Tuhan untuk manusia agar dinikmati. yang tak pernah disesali dalam hidup. Satu-satunya alat indra yang bebas untuk menikmati dan yang paling sederhana yakni hidung.