Beriman bukan hanya yakin. Bukan hanya
melaksanakan. Tapi, keduanya.
Saya seorang muslim. Dari kecil saya
diajarkan orang tua tentang sahadat, rukun iman, rukun islam, dan ‘sekolah
sore’. Barang, agama yang saya miliki sekarang adalah agama keturunan. Garis
keturunan keluarga saya muslim, bahkan Nahdhatul Ulama semua. Orang tua
mengajarkan tentang kewajiban yang harus dipenuhi muslim. Sholat, ngaji,
membaca doa-doa, dsb.
Dari awal saya mengetahui kalau agama
saya islam dari orang tua. Karena sejak kecil saya selalu diajak ke masjid.
Jadi, saya simpulkan sendiri kalau agama saya islam. Karena islam identik
dengan masjid. Dan pada akta kelahiran saya yang dibuat ketika bayek, orang tua yang menentukan agama.
Saya masih ingat betul guru ‘sekolah
sore’ pernah mengatakan muslim itu wajib tahu ‘aqoid seket. Yakni, 20 sifat
wajib Allah, 20 sifat mustahil Allah, 4 sifat wajib Rasul, 4 sifat mustahil
Rasul, 1 sifat jaiz Allah & Rasul. Saya harus menghafal sifat-sifat beserta
maknanya. Ditambah pula guru selalu mengibaratkan sifat manusia di dunia dengan
kenikmatan surga dan kemurkaan neraka.
Tak
sekadar menjalankan
Amalan religiusitas saya rendah, barangkali. Dulu ketika orang
mengatakan hal tersebut saya cukup diam. Saya mengakui bahwa atribut-atribut
yang semacam itu tidak saya lakukan sekencang teman lain. Barang itu yang
dijadikan perbandingan. Namun, sekarang saya tak lagi menghiraukan hal
tersebut. Saya ingin ‘mencari’ kebenaran. Walau kebenaran itu sesuatu yang
tidak benar. Lebih tepatnya merefleksi apa yang sudah saya terima untuk membuat
pertahanan iman.
Menyoal tentang kewajiban
dalam agama harusnya dapat dimaknai setiap orang yang menjalankan. Tak sekadar
menjalankan, namun mengilhami. Setiap yang dikatakan wajib sudah semestinya
manusia mulai kepo untuk mengulasnya. Bukan serta merta hanya menerima.
Kala itu, saya sempat dihajar Bapak
karena membangkang untuk melaksanakan sholat. Sebab mementingkan bermain. Dalam
fikih jelas tertulis “hajarlah anak kamu yang sudah baligh sebab dia tak mau
melaksanakan kewajiban, sholat”. Atas dasar tersebut, barang Bapak berani
menghajarku.
Dalam setiap agama pasti
mempunyai kepatuhan yang harus dijalankan dan larangan yang harus dihindari.
Namun, satu hal bahwa beragama bukan sekadar menjalankan atribut atribut agama.
Tapi, meyakini dan tahu betul tentang apa yang dilakukan. Ada suatu pertanyaan
“saya berusaha menjalankan apa yang diperintah dan menghindari apa yang
dilarang Tuhan, tetapi saya tidak tahu maknanya?” saya pikir keimanan seseorang
itu menjelajah, tidak naik turun atau lemah atau kuat. Begini, orang yang
sedang melakukan hal yang dilarang agama, mencuri misalnya itu bukan karena
imannya lemah. Tetapi, naluri jahat manusia yang lebih dominan. Pencuri
tersebut bisa saja yakin dengan keberadaan Tuhan-Nya dan faham dengan apa yang
dilarang, tapi ia harus mencuri karena suatu keadaan. Dan perbuatan mencuri
memang tidak dibenarkan. Orang perlu dengan keyakinan besar bahwa ketika
melakukan hal yang dapat merugikan diri atau orang lain adalah sesuatu yang
tidak tepat dan dholim namanya. Sehingga, sikap semacam itu muncul dalam diri.
Bukan karena paksaan. Saya pikir untuk menyocokkan pikiran dan qalbu, seseorang
perlu jalan panjang. Dengan pikiran saja seseorang akan cacat dalam hidup.
Sebaliknya, dengan qalbu saja seseorang akan mengalami kemunduran. Nah, hal-hal
semacam itu adalah iman yang menjelajah. Yakin beriman bukan semata ada dalam
hati, namun direalisasikan dalam bentuk tindakan.
Keimanan itu bukan untuk
konsumsi publik. Tapi, peneguhan dalam diri setiap manusia tentang Tuhan.
Otomatis jika seseorang sudah meyakini Tuhan, ia adalah manusia yang kecil, dan
apa yang diperbuat di dunia pasti akan kembali ke diri. Sehingga ia tak lagi
takabur. Bahwa simbol-simbol keduniawian itu sesaat. Toh, manusia akan mati.
Tuhan
Ada Dalam Tarikan Nafas. Manusia
hidup pasti bernafas. Bernafas merupakan suatu kebebasan yang dianugerahkan
Tuhan untuk manusia agar dinikmati. yang tak pernah disesali dalam hidup.
Satu-satunya alat indra yang bebas untuk menikmati dan yang paling sederhana
yakni hidung.