Minggu, 07 Februari 2016

Berlayar ke Sedanau


Pak Tukidi, Bapak angkatku

Pernahkah anda merasakan bahwa kematian itu berasa dekat? 

Siang tadi, saya berlayar dari pulau sedanau ke desa Pian Tengah. Pulau sedanau ini adalah kota kecamatan. Yang mana, di pulau ini ada pasar yang lumayan besar buat kami orang-orang desa. Hampir tiap rumah berjualan. Dari toko sembako, kosmetik, makanan, elektronik, pancing, peralatan sekolah, hingga pelelangan ikan. Namun, jangan bayangkan macam pasar swalayan gedhe. Pasar ini, macam pasar tradisional kita di jawa. Namun, sungguhlah pasar ini menjadi kemewahan buat kami di desa. 

Saya ke sedanau untuk berkunjung ke uptd, kantor kecamatan, koramil, puskesmas, dan polsek. Sebab, Indonesia mengajar baru tahun pertama di Natuna, jadi kami bertugas babat alas. Berkunjung kemanapun dan mengulang-ngulang ‘what is Indonesia Mengajar?”. Entah dalam kondisi malas berbicara, mual-mual, kepanasan, harus tetap mampu memperkenalkan maksud kedatangan kami. Ada yang merespon baik, ada juga yang mengawali dengan kata ‘maaf’. Kalau sudah mengucap kata tersebut, untuk selanjutnya harus siap tetap melebarkan senyum walau hati kecut. Macam, “maaf gaji anda berapa? Gedhe dong? Jaminan pegawai ya? Lha itu kan pendirinya uda jadi Menteri, jaminan dong? Dapet dari pemda berapa?”

Biasanya kalau begitu, saya menunggu semua asumsinya keluar, baru membuka pertanyaan. “Kira, kalau yayasan itu negeri apa non-negeri?” dan lainnya. Namun, ada yang membuat hati ini merekah. Ada gadis muda pegawai perpustakaan kecamatan yang antusias menyambut saya yang mengenakan rompi Indonesia mengajar. “Ih, Mbak Dewi dari Indonesia Mengajar. Gimana-gimana ceritaya Mbak, saya sudah lho baca bukunya jilid 1-4 (Hah, emang ada 4? Setahuku…. Krik krik dalam hati.) lucu-lucu ya, ada yang bla bla bla. Mbak, bukunya ya dari pengajar muda ini.”

Saking seringnya bertemu orang dan mengenalkan Indonesia Mengajar, entah karena nglothok di luar kepala atau bingungnya, harus mencari tikungan-tikungan yang beda untuk tiap lawan bicara. Kadang berasa krik krik, menggebu-gebu karena lawan asyik, datar biasa saja. Hal yang masih membuatku butuh managemen adalah soal harapan perubahan. Padahal, saya sebisa mungkin tak bermaksud mengubah katakanlah kebiasaan lama dengan hal baru. Namun, saya ingin memancing tiap-tiap elemen berpikir soal kebiasaan-kebiasaan tersebut dan mereka yang menilai sendiri. Juga mereka yang menemukan kesadaran-kesadaran baru untuk memperbaikinya. 

Siang tadi, merasa dekat dengan kematian dan pasrah. Saya naik pompong (ada yang mengatakan ketinting). Sebuah perahu kecil yang muat maksimal lima orang. Saat ini di Natuna sedang musim utara, yang mana ombak dan anginnya gedhe. Sejak malam harinya saya menginap di salah satu rumah guru, rumah yang saya tempati beratap esbes dan dinding kayunya ingin melayang-layang. Rumah-rumah panggung yang berdiri di atas pinggiran laut. Bangun-bangun, hidung saya juga mulai berlendir. Karena saya berencana cuma dua hari saja di sedanau, berarti hari ini juga harus balik ke Pian Tengah. Saya dan mamak sudah janjian, bahwa mamak akan belanja ke sedanau dan saya numpang pompong ke Pian. Setelah menghubungi beberapa orang Pian dan tak ada respon, ketar-ketir bagaimana pulangnya tak ada pompong. Mamak mengabari tak jadi belanja karena tak ada pompong yang jalan. Akhirnya ada kabar kalau ada pompong yang jalan ke sedanau, jadi bisa numpang. Maklum, jika nyarter pompong mesti mengeluarkan uang dua ratus ribu. Hhmm, lumayan juga buat saya ini. 

Saya dijemput bapak. Orang-orang rumah ternyata mengkhawatirkanku. Kalau dalam kondisi seperti ini, aku sebenarnya memilih disakiti dan dijahati orang-orang saja daripada begini. Darah berasa berhenti ketika bapak tiba-tiba datang ke rumah Bu Suli. Padahal, Bapak sedang tak enak badan beberapa hari ini. Bapak usianya sudah 65an tahun. Ia juga sering masuk angin. Duh. Mata berkaca-kaca ketika dari jauh melihat baju garis-garis bapak. Yakinkah, bahwa banyak orang baik di luar sana? Jika kebaikan dibalas dengan kebaikan, aku bukan lah orang baik. Tapi, begitu banyak orang baik yang selalu saja hadir di hidupku. Bayangan ini yang sering kali membuat jiwaku berasa lepas juga sekaligus kuat. 

Perjalanan menuju Pian Tengah dari Sedanau satu jam naik pompong. Namun, bagiku seperti seharian. Apalagi daerah teman-teman lain yang lebih lebih lagi? Pemandangannya bagus. Satu-satunya langit yang bersih dan cerah yang pernah saya lihat tiap hari entah siang dan malam adalah di Natuna ini. Saya terheran-heran. Di tiap malam, saya bisa menghubungkan antar bintang menjadi sebuah lukisan indah. Mungkin ini juga tergantung suasana hati. Jadi sesuka-sukaku untuk menebak gambar tersebut. Ada gambar telapak tangan, wajah dengan bibir tersenyum, mata yang berbinar, burung, dll. Begitu juga ketika siang hari, oooo… cantiknya langit Natuna. 

Saya duduk di rumah-rumahan pompong. Sementara siswaku kelas lima anak dari pemilik pompong sesekali membantu ayahnya mengarahkan laju pompong. Namun, karena aku khawatir ku minta duduk saja di dekatku. Bapak duduk di ujung pompong dengan berpegangan di sebuah kayu. Bajunya ditumpas oleh angin ke kanan-kiri, depan-belakang. Sementara pengemudi pompong basah kuyup semua karena hantaman ombak yang masuk ke pompong. Selama di pompong, mulut ini selalu komat-kamit hingga maklap tertidur entah berapa menit. Air mulai masuk ke dalam. Sementara pompong terombang-ambing ke kanan-kiri. Tas ku peluk erat, karena ada laptop. Setengah gelo, kenapa dulu tidak beli dry bag. Sebab, laptop fasilitas kantor, jadi merasa was-was jika kenapa-kenapa. Syukurlah, masih bisa dibuat ngetik catatan ini. Mesin mulai mengeluarkan asap dari besi yang panas terhantam air laut. Banjir sudahlah dalam pompong. Mesin mulai dipelankan, dan pengemudi mengeluarkan air sedikit demi sedikit. Aku kian mual. Kepala pusing. Telinga tak mendengar apa-apa. Penyesalan datang, kenapa aku tak membawa pelampung. Sudahlah yang terjadi terjadi lah. 

Ketika mulai nampak rerimbunan pohon bakau, hati sedikit tenang. Namun, angin tak kunjung juga hadir pelan. Ingin sekali terbang langsung ke darat. Aku memang takut dengan air dengan jumlah banyak. Apalagi ditambah angin. Maka, sudah bertahun-tahun lamanya belajar renang tak bisa-bisa hingga kini. Karena aku belum bisa berdamai dengan diri dan mengatasi ketakutan. Aku sadar, aku tak perlu berani. Hanya saja perlu mengatasi ketakutan. Ya, mengatasi ketakutan dengan memupuk harapan. 

Malam pergantian tahun 2016 ini, beberapa orang desa pergi ke kota kabupaten untuk menyaksikan kembang api. Jarak tempuh desaku dengan kabupaten 72 kilo. Orang-orang rela menempuh jarak tersebut untuk berkerumun dan melihat kembang api yang mungkin hanya setahun sekali. Sementara, malam ini di desa listrik mati karena uang subsidi minyak belum cair. Aku memilih menepi dari kerumunan dan melewati pergantian malam ini dengan menulis catatan kecil ini sembari menunggu ditelpon kawan. Tapi PHP! Di sini hanya bisa pakai kartu telkomsel. Sementara membeli pulsa adalah perjuangan. Kadang aku merasa sepi nyit-nyit dan ingin diberi tahu informasi di luar sana. Haha. 

31 Desember 2015 | 11:05 PM

Tidak ada komentar: