Selasa, 26 Februari 2013

Seni Bertutur



        Minggu. Banyak orang mengatakan minggu hari yang santai. Hari berkumpul dengan keluarga, teman, pacar. Begitu menyenangkan. Menuju tempat wisata. Mengasyikkan jepret sana-sini. Menghibur dan tertawa-tawa. Tiket wisata di hari minggu pastilah lebih mahal dari hari-hari biasanya. Berlipat-lipat. Berjubel-jubel pengunjungnya. 

        Sama halnya, dengan hari libur nasional. Tempat wisata masih menjadi primadona. Pantai, buyar. Tiba-tiba hilang. Terbukti tulisan pantai baru koma dan tidak tuntas sudah buyar. Orang baru masuk ruangan dan mengajak kenalan. Bukan sembarangan. Ini dua orang hebat. Barangkali memang benar pandangan semua orang di sana sangat begitu besar. Aku pikir begitu pun dengan harapan mereka yang besar terhadap karya kami. Semangat. Sontak semangat mengalir dalam diriku. Alunan azan magrib mengamini semangat ini. Begitu dekat suara ini di telinga. Membakar, mengobar semangat. Berhenti. Suara merdu berhenti seketika. Hening. Hanya percikan air gemericik dari pojok kamar mandi yang terdengar. Dan lantunan suara azan di lamut-lamut telinga. 

        Awalnya aku ingin bercerita. Ya, cerita yang mengalir saja. Tanpa konsep. Namun tetap saja konsep itu datang bertubi-tubi sembari jari-jari ini mengalun. Aku tak terlalu menghiaraukan. Sebab, aku hanya ingin bercerita. Cerita tentang apapun. Tentang pengungkapan pikiran, rasa, dan ganjalan dalam diri. Tanpa terpaku deskriptif, eksposisi. Begitu pula pengungkapan dengan gaya feature, straight news, narrative report, investigative, dll. Saat aku menulis aku harus memikirkan untuk membuat teori konsep secara rinci, mencari referensi, membuat gambaran di tiap paragrafnya mau dibuat seperti apa, bahkan judul menjadi kunci utama sebelum menulis paragraph pertama. Kali ini aku biarkan pikiranku berkelana sebebas-bebasnya. Menulis sejadi-jadinya. Yang sepintas ini yang membuat aku terkesan. Gaya yang seperti ini yang sepertinya ingin aku kembangkan. Tak melulu terkungkung dengan terkotak-kotak gaya yang dianjurkan dalam buku. Sudah ku miliki buku beberapa judul tentang kepenullisan, namun masih saja aku kesulitan untuk mempraktekannya. Kali ini aku ingin menulis dengan gaya yang seperti ini. 

        Koran minggu memberikan inspirasi dan daya imaji yang datang silih berganti. Walau, hari ini sudah hari selasa. Bahkan selasa ini aku belum menyentuh koran keluaran hari ini. Judul headlinenya saja tak kutahui satu huruf pun. Entah, pagi tadi aku bersemangat untuk mengubek-ubek koran hari minggu. Ya, koran yang memuat berjuta sisi lain. Dan hal baru yang aku dengar dan lihat. Kreatif. Mereka yang bekerja sebagai pencari berita di koran hari minggu sangat kreatif. Saya pikir, intelektualitas mereka diuji di koran minggu. 

        Worst journey. Sebuah buku catatan perjalanan yang merangkum tulisan puluhan nama terkenal di dunia mengenai pengalaman buruk yang mereka temui. Dari Umberto Eco, David Mamet, Alberto Manguel, sampai Bob Geldof. Benar bukan ini sebuah informasi baru yang aku dapatkan. Benar. Koran minggu. Tak lantas juga aku mengagumi semua koran minggu. Hapus. Aku menghapus beberapa kata. Aku pikir aku tak lantas meliarkan pikiran dan menuliskannya seliar-liarnya. Masih ada filter nurani untuk memegang kaidah jurnalistik. 

        Denting waktu. Waktu yang telah kuhabiskan tak semerdu tiruan bunyi uang logam yang jatuh di ubin secara beraturan. Terbukti aku belum bisa apa-apa. Sudah banyak momen telah aku sia-siakan. Kemalasan adalah sungguh pembunuh sadis yang pasti. Nyata. Tak dibuat-buat. Kenyataannya seperti ini, memuakkan diri untuk berandai-andai. Andai kemarin aku berbuat begini dan begitu. Melakukan ini dan itu. Sekarang aku sudah ini dan itu. Sudahlah. Kamu hanya perlu satu jengkal langkah dengan kefokusan sembari tertatih-tatih untuk berimaji. Daripada termenung menyesali hari kemarin. Menyesal. Aku sungguh menyesal. Titik. Maju. 

         Satu pesan untuk setiap kawan dan diriku sendiri. Sebaik-baiknya orang adalah ketika ia sudah berani untuk membongkar benteng dalam dirinya. Tak ada kedengkian, tak gerutu-menggerutu. Binasa sudah jika setiap orang membuat benteng dalam dirinya sendiri. Informasi apapun terkesan bablas begitu saja tanpa berbekas. Legowo. Harusnya sadar betul dengan itu. Terbaik dari yang terbaik itu tidak ada. Terbaik itu ada karena terjelek. Seimbang.  

        Beberapa jam mandek. Godaan itu ada-ada saja. dan selalu saja ada. Aku suka dengan semangatmu. Cerita kita beberapa jam tadi. Sedikit tapi banyak. Guling. Me-, di-, me-kan, di-kan. Mengulas untuk terakhir. Tak runtut, iya. Tak padu, iya. Aku termangu lega. Tepat sepuluh lewat tiga puluh tuntas. Tuntas risau hati ini. Risau. Menulislah dengan kerisauan. Kegelisahan. Duh, bingung. Sampai-sampai bingung ingin memberi judul apa. Seni bertutur. Ya, biarkan saja. judul itu sepertinya cocok.

2 komentar:

Imam Rahmanto mengatakan...

Hahaha....lucu.
Tapi, memang, setiap penulis itu seyogyanya punya gaya tersendiri. Tidak selalu mencontoh gaya orang lain, dong.

Unknown mengatakan...

Iya Mam. Tulisan seperti ini tentu ada kelemahannya, tidak runtut logika. Namun, aku ingin mengemasnya dengan apik lagi dan runtut logika. Ini masih acak adul. hehe.