Minggu. Banyak orang mengatakan minggu hari yang santai. Hari
berkumpul dengan keluarga, teman, pacar. Begitu menyenangkan. Menuju tempat
wisata. Mengasyikkan jepret sana-sini. Menghibur dan tertawa-tawa. Tiket wisata
di hari minggu pastilah lebih mahal dari hari-hari biasanya. Berlipat-lipat.
Berjubel-jubel pengunjungnya.
Sama halnya, dengan hari libur nasional. Tempat wisata masih
menjadi primadona. Pantai, buyar. Tiba-tiba hilang. Terbukti tulisan pantai
baru koma dan tidak tuntas sudah buyar. Orang baru masuk ruangan dan mengajak
kenalan. Bukan sembarangan. Ini dua orang hebat. Barangkali memang benar
pandangan semua orang di sana sangat begitu besar. Aku pikir begitu pun dengan
harapan mereka yang besar terhadap karya kami. Semangat. Sontak semangat
mengalir dalam diriku. Alunan azan magrib mengamini semangat ini. Begitu dekat
suara ini di telinga. Membakar, mengobar semangat. Berhenti. Suara merdu
berhenti seketika. Hening. Hanya percikan air gemericik dari pojok kamar mandi
yang terdengar. Dan lantunan suara azan di lamut-lamut telinga.
Awalnya aku ingin bercerita. Ya, cerita yang mengalir saja.
Tanpa konsep. Namun tetap saja konsep itu datang bertubi-tubi sembari jari-jari
ini mengalun. Aku tak terlalu menghiaraukan. Sebab, aku hanya ingin bercerita.
Cerita tentang apapun. Tentang pengungkapan pikiran, rasa, dan ganjalan dalam
diri. Tanpa terpaku deskriptif, eksposisi. Begitu pula pengungkapan dengan gaya
feature, straight news, narrative report, investigative, dll. Saat aku menulis
aku harus memikirkan untuk membuat teori konsep secara rinci, mencari
referensi, membuat gambaran di tiap paragrafnya mau dibuat seperti apa, bahkan
judul menjadi kunci utama sebelum menulis paragraph pertama. Kali ini aku
biarkan pikiranku berkelana sebebas-bebasnya. Menulis sejadi-jadinya. Yang
sepintas ini yang membuat aku terkesan. Gaya yang seperti ini yang sepertinya
ingin aku kembangkan. Tak melulu terkungkung dengan terkotak-kotak gaya yang
dianjurkan dalam buku. Sudah ku miliki buku beberapa judul tentang
kepenullisan, namun masih saja aku kesulitan untuk mempraktekannya. Kali ini
aku ingin menulis dengan gaya yang seperti ini.
Koran minggu memberikan inspirasi dan daya imaji yang datang
silih berganti. Walau, hari ini sudah hari selasa. Bahkan selasa ini aku belum
menyentuh koran keluaran hari ini. Judul headlinenya saja tak kutahui satu
huruf pun. Entah, pagi tadi aku bersemangat untuk mengubek-ubek koran hari
minggu. Ya, koran yang memuat berjuta sisi lain. Dan hal baru yang aku dengar
dan lihat. Kreatif. Mereka yang bekerja sebagai pencari berita di koran hari
minggu sangat kreatif. Saya pikir, intelektualitas mereka diuji di koran
minggu.
Worst journey. Sebuah buku catatan perjalanan yang merangkum
tulisan puluhan nama terkenal di dunia mengenai pengalaman buruk yang mereka
temui. Dari Umberto Eco, David Mamet, Alberto Manguel, sampai Bob Geldof. Benar
bukan ini sebuah informasi baru yang aku dapatkan. Benar. Koran minggu. Tak
lantas juga aku mengagumi semua koran minggu. Hapus. Aku menghapus beberapa
kata. Aku pikir aku tak lantas meliarkan pikiran dan menuliskannya
seliar-liarnya. Masih ada filter nurani untuk memegang kaidah jurnalistik.
Denting waktu. Waktu yang telah kuhabiskan tak semerdu tiruan
bunyi uang logam yang jatuh di ubin secara beraturan. Terbukti aku belum bisa
apa-apa. Sudah banyak momen telah aku sia-siakan. Kemalasan adalah sungguh
pembunuh sadis yang pasti. Nyata. Tak dibuat-buat. Kenyataannya seperti ini,
memuakkan diri untuk berandai-andai. Andai kemarin aku berbuat begini dan
begitu. Melakukan ini dan itu. Sekarang aku sudah ini dan itu. Sudahlah. Kamu
hanya perlu satu jengkal langkah dengan kefokusan sembari tertatih-tatih untuk
berimaji. Daripada termenung menyesali hari kemarin. Menyesal. Aku sungguh
menyesal. Titik. Maju.
Satu pesan untuk
setiap kawan dan diriku sendiri. Sebaik-baiknya orang adalah ketika ia sudah
berani untuk membongkar benteng dalam dirinya. Tak ada kedengkian, tak
gerutu-menggerutu. Binasa sudah jika setiap orang membuat benteng dalam dirinya
sendiri. Informasi apapun terkesan bablas begitu saja tanpa berbekas. Legowo.
Harusnya sadar betul dengan itu. Terbaik dari yang terbaik itu tidak ada. Terbaik
itu ada karena terjelek. Seimbang.
Beberapa jam mandek. Godaan itu ada-ada saja. dan selalu saja
ada. Aku suka dengan semangatmu. Cerita kita beberapa jam tadi. Sedikit tapi
banyak. Guling. Me-, di-, me-kan, di-kan. Mengulas untuk terakhir. Tak runtut,
iya. Tak padu, iya. Aku termangu lega. Tepat sepuluh lewat tiga puluh tuntas. Tuntas
risau hati ini. Risau. Menulislah dengan kerisauan. Kegelisahan. Duh, bingung. Sampai-sampai
bingung ingin memberi judul apa. Seni bertutur. Ya, biarkan saja. judul
itu sepertinya cocok.
2 komentar:
Hahaha....lucu.
Tapi, memang, setiap penulis itu seyogyanya punya gaya tersendiri. Tidak selalu mencontoh gaya orang lain, dong.
Iya Mam. Tulisan seperti ini tentu ada kelemahannya, tidak runtut logika. Namun, aku ingin mengemasnya dengan apik lagi dan runtut logika. Ini masih acak adul. hehe.
Posting Komentar