Minggu, 24 Maret 2013

Ersha, Memulai dari No(ve)l


Aku terbayang dengan Ersha. Sebuah nama yang baru saja ada di benakku pagi tadi. Ketika ku berimaji di kamar mandi. Ya, Ersha. Walau nama itu baru terlintas, aku sudah begitu mengenalmu. Kita sudah pernah bertemu bukan? Di teras sekolah, aku dan kamu. 

Ersha kau pasti sukses. Dengan khayalan-khayalan dan mimpi-mimpimu. Kala itu kau bercerita tentang kamu dan hobimu. Lima menit aku mengenalmu seakan sudah seperti kakak adek. Padahal aku dan kakakku tak selumer itu, dulu. Sekarang lengket. Kau membuka pertanyaan yang banyak. Kau memintaku untuk memberi tanggapan atas pertanyaanmu. Begitu hingga satu dua jam. 

“aku heran dengan teman-temanku yang rangking paralel di sekolah?” ungkapnya.
“kenapa?”
“Dia itu hanya pintar di atas kertas. Bahkan itu pun patut diragukan. Di dalam kelas ia cenderung pasif. Sesekali aku memergokinya dengan contekan yang ia bikin saat ujian”
“ohhh”
“aku memang bodoh dalam hal pelajaran, apalagi menghitung. Namun, tak sampai hati untuk menyontek. Banyak nilaiku yang di bawah standar”.

Ia menerangkan hobinya. Aku suka dengan karya sastra. Novel khususnya. Sudah banyak novel trilogi maupun seri yang dibabat habis. Membaca novel Harry Potter sudah di mulai sejak ia sekolah dasar. Agata Christine, andrea hirata lewat. Alias bukan lagi pengarang yang masuk dalam kelasnya. Ia bercerita dengan meluap-luap ketika ibunya menyingkirkan novel-novel yang ia miliki. Ia sempat berhari-hari tak membuka sepatah katapun pada ibunya.

“kamu tahu nda, kak. Aku membeli novel itu dengan menyisihkan uang saku habis-habisan. Bagaimana tak marah!”

Ia sempat meraba dirinya sendiri. Mengapa ia semaniak ini pada novel. Padahal saudara-saudaranya tak seperti itu. Apalagi kedua orang tuanya. Pantas saja jika ibunya selalu marah-marah karena ia dikira kelainan. Ia menjelaskan jika saudara-saudaranya itu sangat pintar di bidang akademik. Selalu dapat rangking di kelas. Sementara, ia selalu kena marah sama guru karena nilainya jeblok. Di tambah lagi SMA ini ia ikut organisasi intra sekolah. Semakin padatlah jadwal untuk organisasi dan membaca.

Setelah kejadian buang membuang novel oleh ibunya ia semakin tak bebas membaca di rumah. Makanya ia sering menghabiskan waktu di sekolah hingga sore hanya untuk membaca. 

“aku harus umpet-umpetan saat membaca novel di rumah”

Orang tuanya selalu membandingkan ia dengan saudaranya. Prestasi akademiknya yang tak bagus itu selalu menjadi bahan perbincangan. Terkadang ia jengkel dengan keluarganya.

Kala itu, aku memberikan saran, lakukanlah apa yang kamu suka. Orang pintar tak selalu terukur oleh akademik. Dan janganlah juga kau membenci ibumu. Cobalah kau tunjukkan apa yang kamu bisa itu kepada ibumu.

Terjadi salah kaprah memang di masyarakat. Khususnya di desa. Karena orang tua yang kolot dan tak cukup mengenyam pendidikan. Mereka mengira orang pintar ya yang mendapat rangking di sekolah. 

Kabar gembira aku dengar darinya. Ia menjuarai kompetisi menulis cerpen tingkat daerah. Tak tanggung-tanggung ia menggondol juara satu. Setelah itu, ibunya mulai mengerti. Namun tak sepenuhnya. Ersha kejarlah mimpimu. Aku turut mengamini mimpimu yang ingin kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Malaysia. Walau rencanamu itu tak diketahui satupun dari keluargamu. 

Ersha, saat kau berada dalam kondisi yang sulit kau berani untuk memulainya kembali. Kau memulai dari nol untuk meyakinkan orang tuamu. Beda memang dari saudara-saudarmu yang dengan mudah mendapat kepercayaan dari orangtua. Nol itu angka yang spesial. Jika kau mampu keluar dari garis lingkarnya kau akan mudah meraih angka satu. Angka yang diidam-idamkan manusia. Begitu juga kau harus memulai menyukai pelajaran di sekolah dari nol. Tak apa Ersha, pengalamanmu sudah se gudang. Kau hebat. Ersha, aku menunggu kabar darimu.

2 komentar:

Imam Rahmanto mengatakan...

Hmm...nol dan novel, analogi yang menarik, Wi. :)

Unknown mengatakan...

Thanks Imam. :)